Quantcast
Channel: Ilmu Psikologi
Viewing all 293 articles
Browse latest View live

Presentasi dan Alat Bantu Dalam Pelatihan dan Pengembangan

$
0
0
Presentasi dan Alat Bantu Dalam Pelatihan dan Pengembangan - Membahas tentang keterampilan persuasi dan pengaruh, alas an-alasan untuk presentasi, merencanakan presentasi, proses pembelajaran dan komunikasi, memilih alat-alat bantu, penggunaan alat bantu secara efektif, dan checklist penyelenggaraan pelatihan. Melalui artikel ini diharapkan mampu memahami proses pembelajaran dan komunikasi, memilih alat-alat bantu, penggunaan alat bantu secara efektif, dan checklist penyelenggaraan pelatihan.

1. Keterampilan Persuasi dan Pengaruh

Keterampilan persuasi dan memengaruhi merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam presentasi. Berikut ini adalah kata-kata kunci dalam persuasi dan memengaruhi:

a. Sikap :
Keberhasilan komunikasi tidak hanya tergantung pada sikap terhadap situasi dan orang yang diajak berkomunikasi, tetapi juga pada kesan terbuka dari sikap ini. Jika instruktur mempunyai motivasi tinggi dan antusias dalam menghadapi materi, maka akan lebih mudah proses pentransmisikan pada para pendengar. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan para pendengar dapat dipengaruhi dan dibujuk.

b. Nilai-nilai :
Nilai-nilai pribadi (misalnya bagaimana memperlakukan orang lain) akat sangat memengaruhi sikap orang lain terhadap presenter. Sikap ini akan memengaruhi hubungan selanjutnya, apakah akan menjadi baik atau buruk.

c. Arti penting :
Betapa penting instruktur menunjukkan situasi atau materi akan mempunyai efek yang kuat pada para pendengar. Jika pendengar mengembangkan sikap bahwa materi itu penting, maka instruktur akan mempunyai peluang besar untuk meyakinkan para pendengar tentang arti penting materi yang disampaikan.

d. Kredibilitas :
Kejujuran, ketulusan, dan keinginan nyata untuk membantu para peserta untuk belajar adalah indikator penting dari kredibilitas instruktur. Instruktur tidak boleh memanfaatkan peserta untuk memuaskan tuntutan-tuntutan ego akan kekuasaan dan kinerja. Instruktur tidak bisa menjadi pakar dalam segala hal, tetapi harus:

  1. Mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai materi yang yang disampaikan sehingga memungkinkan para peserta belajar
  2. Lebih baik (sekalipun tidak mutlak penting) bila instruktur memiliki keterampilan personal ketika memberikan pelatihan di bidang – bidang keterampilan
  3. Mempunyai dan secara efektif bisa menggunakan kemampuan fasilitator yang sesuai.


Presentasi dan Alat Bantu Dalam Pelatihan dan Pengembangan_
image source: www.training.com
baca juga: Pengertian dan Metode Outbound Management Training + Contoh

2. Alasan – alasan untuk Presentasi

Ada beberapa alasan yang dikemukakan mengapa presentasi dilakukan:

  • memberikan informasi mengenai suatu pokok materi
  • melaporkan tindakan-tindakan dan kemajuan dalam menjalankan suatu tugas atau proyek
  • memotivasi orang agar mengambil suatu tindakan
  • memengaruhi orang agar menerima usulan atau ide-ide yang disampaikan atau untuk menciptakan perubahan-perubahan
  • mengajar orang dalam suatu proses baru atau tindakan lain


3. Pertanyaan-pertanyaan yang Harus Diajukan oleh Fasilitator sebelum Pelatihan

  • Kapan presentasi diselenggarakan ?
  • Dimana tempat penyelenggaraan pelatihan tersebut ?
  • Apa yang menjadi topik pembahasan pelatihan ?
  • Mengapa topik pelatihan tersebut penting dipresentasikan ?
  • Bagaimana presentasi dilakukan ?
  • Siapa yang akan hadir ? : Bagaimana level, senioritas, kekuasaan yang dipunyai peserta ?, Bagaimana kedudukan instruktur di diantara para peserta ?
  • Bagaimana latar belakang peserta ?
  • Seberapa banyak jumlah peserta ?
  • Apa yang sudah diketahui oleh peserta tentang pokok bahasan (materi) presentasi?
  • Apakah peserta akan benar-benar tertarik pada apa yang akan disampaikan ?
  • Apakah peserta hadir dalam acara presentasi karena wajib ? Dapatkah fasilitattor membangun minat para peserta ?
  • Apa yang diharapkan peserta dari fasilitator dalam sejumlah aspek ?
  • Bagaimana nilai-nilai dan prasangka-prasangka peserta dalam presentasi yang akan diberikan ?
  • Dapatkah saya menyajikan apa yang diharapkan oleh para peserta ?
  • Dan beberapa pertanyaan lainnya.


4. Hal-hal Utama mengenai Sasaran Presentasi Pelatihan dan pengembangan

  • Pahami betul sasaran-sasaran presentasi
  • Apakah sasaran-sasaran itu berkorelasi dengan kebutuhan-kebutuhan pelatihan yang sudah diidentifikasi ?
  • Apakah sasaran-sasaran itu terfokus pada masalah-masalah nyata yang terlibat dan cakupan apa yang seharusnya ada dalam presentasi ?
  • Apakah penyusunan kata-kata mengenai sasaran-sasaran itu jelas dan bias dipahami secara umum ?
  • Apakah sasaran-sasaran yang ditetapkan bias dicapai dalam presentasi yang akan diberikan ?
  • Apakah pendekatan-pendekatan yang disarankan dalam desai dan perencanaan adalah pendekatan-pendekatan yang paling efektif dan sesuai ?
  • Apakah respon-respons pra-program dari pembelajar berkorelasi dengan tujuan resmi ?
  • Bersiaplah memodifikasi atau bahkan membuang tujuan-tujuan pribadi jika tidak sejalan dengan tujuan-tujuan yang sudah disepakati.


5. Merencanakan Presentasi

Dalam merencanakan presentasi perlu mempertimbangkan hal-hal berikut :

  • Mempertimbangkan metode-metode untuk menyita perhatian peserta
  • Mengidentifikasi masalah-masalah ingatan dan retensi materi presentasi
  • Menyodorkan berbagai teknik untuk mengatasi masalah-masalah komunikasi
  • Menguraikan struktur yang efektif untuk merencanakan dan menyiapkan presentasi
  • Menguraikan cara memutuskan materi utama yang akan dicantumkan dan proses logis presentasinya
  • Memberikan panduan mengenai pendekatan-pendekatan dan gaya-gaya presentasi efektif
  • Beberapa strategi yang digunakan dalam memperkuat ingatan dan recall pembelajaran, yakni : pengaruh, struktur, butir-butir terkait, ulasan kemajuan, dan rangkuman, serta pengingat pasca-presentasi.
  • Gunakan alat bantu memori secara efektif, yaitu :


  1. Akronim : sebuah kata yang dibentuk dari huruf-huruf awal dari kata-kata, yang biasanya merupakan serangkaian ide, dan sebagainya. Salah satu akronim yang relevan dalam presentasi adalah KISS : Keep It Short and Simple.
  2. Aliterasi : pendekatan ini bias digunakan jika akronim tidak cocok. Berikut ini adalah salah satu contoh yang akan digunakan, disingkat 4-P:
    - Project –proyeksikan suara
    - Pronounce – ucapkan kata-kata dengan cermat
    - Pause – sering-seringlah berhenti sejenak
    - Pace – variasikan kecepatan bicara
  3. Frasa : penggunan kalimat yang mudah diingat-ingat, dimana huruf –huruf pertama dari masing-masing kata berfungsi sebagai pemicu apa yang harus diingat. Contoh : mengingat daftar tipe-tipe bintang: O, B, A, F, G, K, M, R, N, S – dengan frasa : Oh Be A Girl, Kiss Me Right Now, Smack !
  4. Rima : adalah sajak yang muda diingat bias membantu retensi dan recall. Contoh : aku tidak memilih menjadi insan biasa membantu menjelaskan hal penting dalam motivasi intrinsic.
  5. Gambar/Kartun : pada dasarnya orang akan mengingat lebih pada gambar/kartun ketimbang dari kata-kata. Penggunaan alat bantu visual sangat dianjurkan. Kartun-kartun- terutama yang lucu sangat menarik ditampilkan.
  6. Membuat cerita : menggunakan cerita-cerita kecil untuk lebih membantu retensi dan recall (misalnya cerita tentang “APEL”). Selain cerita kecil, juga cerita-cerita inspiratif untuk membangkitkan motivasi peserta.
  7. Humor : bantulah orang untuk bias tertawa, sehingga menjadi lebih rileks dan menikmati suasana pelatihan, sehingga akan meolong proses mengingat dan recall.
  8. Repetisi : menyodorkan poin yang sama secara berulang-ulang.

6. Tahap-tahap Perencanaan dalam Presentasi

Ada 12 tahap dalam persiapan dan perencanaan presentasi. Ke-12 tahap tersebuta adalah sebagai berikut :

  1. Mendefinisikan atau menegaskan sifat dan tujuan / sasaran presentasi
  2. Menganalisis peserta potensial
  3. Memutuskan materi utama dan proses logis presentasinya
  4. Memutuskan pendekatan dan gaya presentasi
  5. Merencanakan presentasi dan menyiapkan brief
  6. Memutuskan dan memproduksi alat-alat bantu yang relevan-VAK (Visual, Audio, Kinestetik)
  7. Menyiapkan materi handout
  8. Berlatih melakukan presentasi
  9. Membuat modifikasi-modifikasi seperlunya
  10. Menyiapkan atau mengevaluasi lingkungan
  11. Melakukan presentasi
  12. Mengulas kinerja


7. Checklist Penutup

Untuk meyakinkan bahwa instruktur mengakhiri presentasi dengan efektif dan lengkap, maka perlu menanyakan kepada diri sendiri beberapa pertanyaan berikut :

  • Apakah saya telah menyampaikan poin-poin kunci secara efektif ?
  • Apakah bagian utama presentasi sudah saya sampaikan dengan efektif ?
  • Apakah saya berhasil menjawab pertanyaam audiens ?
  • Mungkinkah audiens pulang sambil tetap memikirkan materi presentasi ?
  • Apakah isyarat verbal dan nonverbal audiens menunjukkan bahwa mereka mengapresiasi presentasi saya ?
  • Apakah saya menjamin mereka bias mengajukan pertanyaan ?
  • Apakah saya berhasil menjawab semua pertanyaan dengan memuaskan ?
  • Apakah saya berani mengakui bahwa tidak bias menjawab salah satu pertanyaan dan berjanji akan melakukan sesuatu dan menyampaikannya dalam kesempatan lain/khusus ?
  • Apakah saya merangkum presentasi dengan efektif dan komprehensif ?
  • Apakah saya mengakhiri presentasi dengan tenang dan tidak tergesa-gesa ?
  • Apakah audiens merasa bahwa presentasi saya lengkap ?


8. Proses Pembelajaran dan Komunikasi

Pembelajaran merupakan proses perubahan dan dapat digambarkan dengan tangga kompetensi pada gambar berikut.

Gambar 1. Tangga Kompetensi (Rae, 2005)_
Gambar 1. Tangga Kompetensi (Rae, 2005)

Program-program pembelajaran dirancang untuk mengatasi perubahan ini, paling tidak di batas antara kemampuan sadar dan kemampuan bawah sadar, namun proses pembelajaran perlu dicapai dengan berbagai cara dan sarana.

Kolb (dalam Rae, 2005) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif dapat dicapai dengan menggunakan 4 (empat) tahap dari siklus pembelajaran sebagaimana terlihat dalam gambar berikut.

Gambar 2. Siklus Pembelajaran

Memahami Minat Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran, trainer perlu memperhatikan minat pembelajaran yang berbeda-beda dari sejumlah orang. Berikut ini diuraikan berbagai minat pembelajaran.

  • Kaum aktivis - suka dan ingin melakukan sesuatu (apa pun ?)
  • Kaum perenung– lebih suka diam merenungkan apa yang telah terjadi, oleh siapa, untuk siapa (barangkali mereka lebih suka merenungkan daripada mengambil tindakan nyata)
  • Kaum teoretis– lebih suka mempertimbangkan konsep-konsep dan teori di balik apa yang telah terjadi, juga memikirkan model-model aktivitas dan berbagai alternatif yang bias dilakukan.
  • Kaum pragmatis– apakah hal itu memiliki aplikasi yang praktis? Apakah cukup bermanfaat untuk dijalani? Bagaimana cara saya menerapkannya dalam pekerjaan? Jika tidak ada satu pun yang bias diterapkan, saya tidak tertarik.

Fungsi Indra dan Proses Pembelajaran Indrawi

  • Indra penglihatan : belajar dengan cara membaca, belajar dengan visualisasi, belajar dengan cara melihat, belajar dengan cara menulis.
  • Indra pendengaran : belajar dengan cara mendengarkan.
  • Indra peraba : belajar dengan cara menyentuh (obyek, orang, mesin), belajar melalui pengalaman dalam melakukannya.
  • Indra pencium/ pengecap : belajar dengan cara menciup atau mencicipi produk, situasi, lingkungan dan sebagainya.


Model Komunikasi


Hambatan-Hambatan dalam Komunikasi

Hambatan-hambatan dalam komunikasi dapat diidentifikasi menjadi empat kelompok besar; ucapan (jargon), aspek-aspek internal atau kejiwaan (mood), aspek-aspek nonverbal (sikap mental), dan lingkungan (suhu udara). Hambatan-hambatn dimaksud diuraikan berikut ini.

a. Cara berbicara : meliputi: kosakata, pendekatan yang tidak jelas dan melantur, jargon, ambiguitas, pendekatan yang tidak jelas/melantur (gunakan metode KISS: Keep It Short and Simple = bicaralah singkat dan sederhana), kata-kata yang tidak lazim, kurang mahir bicara, kurang pengetahuan, aksen, serba tahu.

b. Dukungan alat : banyak hambatan yang menyangkut cara berbicara dapat diatasi bahkan dilenyapkan sama sekali apabila ditunjang dengan alat bantu tertentu.

c. Aspek-aspek internal dan psikologis : tekanan, mood, keterpaksaan, ogah-ogahan, ketakutan, rasa malu, agresi, keengganan belajar dan melakukan perubahan, sikap sok tahu, merasa terlalu tua untuk belajar atau melakukan perubahan, perbedaan status.

Manakala hambatan-hambatan internal dan psikologis muncul, alat-alat bantu pelatihan dapat memberikan pengaruh secara tidak langsung. Kunci untuk mengatasi hambatan-hambatan ini adalah kemampuan instruktur atau pelatih dalam menggunakan alat-alat bantu pelatihan. Penggunaan alat-alat bantu akan membantu presentasi trainer tampil lebih komprehensif, lebih menarik dan terfokus, serta meningkatkan rasa ketertarikan peserta.

Aspek-aspek nonverbal

Aspek-aspek nonverbal dalam komunikasi perlu diperhatikan, diantaranya: perilaku, sikap : mudah curiga, suka menilai orang, terlalu menggurui. Penggunaan alat bantu menjadi penting karena pada dasarnya alat bantu merupakan komunikasi nonverbal. Apabila alat bantu tersebut diimbangi dengan komunikasi verbal yang positif, maka hasilnya akan sangat besar dalam proses pembelajaran.

Lingkungan

LIngkungan juga berpengaruh dalam proses komunikasi, diantaranya: suara, suhu yang panas, dingin, ventilasi udara dan ruang yang tersedia, interupsi/gangguan pekerjaan, dan waktu yang terbatas.

9. Memilih Alat-alat Bantu untuk Pelatihan dan Pembelajaran

Manfaat penggunaan alat-alat bantu pelatihan adalah berikut ini:

  • Keragaman alat bantu (VAK: Visual, Audio, Kinestetik)
  • Alat bantu lebih berdampak besar ketimbang kata-kata
  • Membantu ingatan peserta dengan prinsip pengulangan
  • Alat bantu yang cepat dan tepat membantu kejelasan dan ketepatan
  • Alat bantu bersifat konsisten satu sama lain terhadap sasaran utama

Alat Bantu Pelatihan

Alat-alat bantu pelatihan , diantaranya:

  • Aktivitas
  • Papan tulis (White Board)
  • Gabungan audio dan slide presentasi
  • Komputer (PC, Laptop, dll)
  • Flipchart
  • Handouts
  • Video
  • LCD
  • Obyek
  • Instruktur itu sendiri (kendati tanpa disadari)


Proses Seleksi

Pertanyaan yang patut dilontarkan dalam proses memilih alat bantu :

  • Apa yang ingin saya capai dalam sesi atau presentasi ini? Apa sasaran saya?
  • Dapatkah sasaran pelatihan itu dicapai tanpa menggunakan alat-alat bantu?
  • Kendati sasaran pelatihan dapat dicapai tanpa bantuan alat, apakah proses pembelajaran menjadi terkesan lebih gampang dan/ atau berkembang apabila presentasi lisan disertai dengan penggunaan alat visual?
  • Apakah sasaran, isi, dan gaya pelatihan menuntut digunakannya alat-alat bantu pelatihan?
  • Apakah alat-alat bantu pelatihan akan memperbaiki presentasi?
  • Alat-alat bantu apakah yang paling tepat digunakan?
  • Berapa banyak yang saya butuhkan?
  • Apakah memungkinkan mempergunakan sejumlah alat bantu yang telah ditentukan?
  • Apakah saya memiliki sumber penunjang- waktu, dukungan staf, uang- untuk menghasilkan atau memperoleh alat-alat bantu tersebut?


Metode-metode yang tepat digunakan sebagai alat bantu, diantaranya: aktivitas, studi kasus, pelatihan berbasis computer, demonstrasi, kelompok diskusi, sesi masukan, video interaktif, petunjuk satu lawan satu, presentasi, proyek-proyek, permainan peran, dan lain-lain.

Memadukan Alat Bantu dengan Metode yang Tepat

  • Seleksi alat : berapa alat bantu yang perlu digunakan?
  • Biaya : investasi modal yang besar, menyewa alat atau membelinya, mengontrak ahli teknis, menyiapkan hal-hal professional, ketersediaan peralatan di tempat pelatihan


10. Penggunaan Alat Bantu

Papan Tulis/Whiteboard, Flipchart
Pengunaan papan tulis/whiteboard, dan flipchart harus memperhatikan prinsip legibilitas (tulisan yang mudah terbaca), agar apa yang tertulis dengan mudah dapat dibaca oleh peserta pembelajaran. Legibilitas terkait dengan kejelasan tulisan dan kualitas tulisan. Tulisan harus jelas agar mudah dibaca oleh semua peserta pelatihan. Kualitas tulisan akan menentukan legibilitasnya, terutama jika dibaca di deretan belakang dari kelompok peserta.

Selain tulisan, perlu juga penggunaan hal-hal berikut:

  • Grafik : dalam kenyataannya, grafik akan lebih mudah dibaca ketimbang tulisan dan orang akan lebih menyukai gambar ketimbang kata-kata tertulis. Gunakan warna, cara ini membuat poster lebih menarik dipandang dan dapat digunakan untuk merakit berbagai gagasan atau menunjukkan bagian-bagian yang menonjol
  • Kotal/Lingkaran: kotak/lingkaran di sekeliling kata-kata atau ungkapan diperlukan agar isi kotak terligat lebih menonjol dan penting dibanding bagian tulisan yang lain
  • Garis bawah : penggunaan garis bawah akan membuat kata atau ungkapan tampil lebih mononjol dibanding kata-kata lain yang tidak bergaris bawah.


Intinya: segala sesuatu yang terkait dengan legibilitas perlu dibuat secara jelas dan mengesankan dengan menggunakan beragam teknik.

Penggunaan flipchart :

  • poster memperlihatkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai
  • menyediakan diskusi yang terfokus pada pokok bahasan
  • menunjang presentasi instruktur
  • merangkum pendapat dari peserta pelatihan
  • poster yang telah dipersiapkan terlebih dahulu
  • memberikan fokus tambahan
  • penunjang presentasi para instruktur
  • cara menghimpun pendapat dari kelompok pelatihan


Berbagai manfaat yang diperoleh dari penggunaan flipchart: cukup sederhana, mudah dibawa, tidak membutuhkan tenaga listrik, relatif murah, serba guna, mudah dibalik karena berupa lembaran, mudah digunakan, mudah ditulis,.

Hal-hal yang kurang menguntungkan dengan menggunakan flipchart, diantaranya: penulis harus membelakangi peserta, ukuran lembar terbatas, kesulitan dalam menulis, tampilan yang kurang professional, mudah rusak, -tidak mudah menggunakan efek-efek khusus.

Teknik-Teknik Penyingkapan: tidak dibuka secara serempak, dibuka satu demi satu, disingkap secara luwes.

Manfaat yang diperoleh

  • peserta pelatihan tidak dapat membaca terlebih dahulu sebelum sampai pada pembahasan tersebut
  • harus membuka penutup secara urut, seperti saat menggunakan teknik lipat, dan dapat memilih bagian mana saja yang akan dibuka sesuai dengan pembahasan dalam sesi pelatihan yang tengah berjalan.


Penggunaan Whiteboard

Manfaat pengunaan whiteboard adalah berikut ini:

  • sederhana dalam penggunan
  • masukan dapat dengan mudah dihapus dan dituliskan kembali
  • tidak butuh tenaga listrik
  • dapat menggunakan pelekat magnetis
  • serba guna
  • lebih bersih daripada papan tulis kapur
  • mudah digunakan


Kelemahan Whiteboard

  • membelakangi para peserta whiteboard
  • kurang mudah digunakan seperti poster permanen
  • diperlukan spidol khusus
  • agak susah dalam penulisannya
  • penampilan yang kurang professional
  • mudah terhapus
  • tidak mudah meberikan efek-efek khusus
  • pada alat bantu elektronik, ada ketergantungan pada arus daya listrik


Audio dan Video

Rekaman Video Selama Pelatihan

  • Role play : biasanya digunakan satu kamera yang akan meliput kegiatan wawancara
  • Praktik dalam negosiasi : menggunakan lebih dari satu kamera dengan fasilitas mixing karena kedua pihak mempelajari teknik dalam bernegosiasi
  • Presentasi nyata : Presenter akan mendapatkan rekaman permanen dari kegiatannya
  • Merekam diri sendiri : saat tengah mencoba presentasi atau input baru


Aktivitas pembuatan rekaman video, adalah berikut ini: siapkan peralatan , periksa posisi, pertimbangkan untuk menggunakan lebih dari satu ruang, siapkan para pertisipan yang akan terlibat dalam liputan, sadari kemungkinan terjadinya salah tikah dari para peserta di depan kamera, bersiaplah untuk mengabaikan bagian awal dari rekaman, siapkan para pengamat untuk peran mereka yang berbeda.

Video Interaktif dan CD-I

a. Video interaktif
merupakan sarana yang berguna untuk belajar mandiri, kendati adapula sejumlah stasiun video interaktif untuk intruksi secara kelompok.

b. CD-I
versi terbaru dari video interaktif adalah CD-I, yang menggantikan perlengkapan video yang besar dan makan tempat.

Audio Visual

Komputer sebagai alat bantu pelatihan-computer-assisted learning (CAL/proses pembelajaran yang ditunjang dengan komputer) dan computer-based training (CBT/pelatihan berbasis komputer)

Keuntungan dari Paket CBT

  • para peserta pelatihan ikut serta ambil bagian secara aktif dalam pelatihan
  • upaya pembelajaran dapat dilakukan sesuai dengan kecepatan dari masing-masing peserta
  • evaluasi pemahaman dapat dibuat dengan mudah
  • proses pembelajaran tersebut dapat dilakukan di tempat kerja para peserta, bahkan bisa dilakukan di rumah mereka
  • waktu dan sumber bahan digunakan secara efektif


Handouts

Cara Menggunakan Handouts
Handouts sebagai alat bantu pelatihan memiliki sejumlah kegunaan, format, waktu penggunaan dan metode yang berlainan. Penggunaan handouts mencakup hal-hal berikut ini :

  • sebelum pelatihan, handouts dapat digunakan sebagai alat bantu persiapan
  • selama berlangsungnya pelatihan handouts berguna untuk merangkum bahan pelatihan
  • handouts dapat pula digunakan sebagai log pembelajaran
  • handouts merupakan bahan pengingat setelah pelatihan usai


Penggunaan handouts selama masa pelatihan sebagai alat interaktif

  • apa yang terjadi menurut pandangan peserta selama aktivitas berlangsung?
  • kegiatan apa yang mendorong terjadinya hal ini?
  • siapa yang banyak terlibat dalam proses ini?
  • apa yang telah peserta petik dari pengalaman tersebut?
  • bagaimana cara peserta menerapkan informasi itu?
  • persoalan apa yang barangkali muncul dari tindakan yang diusulkan tersebut?


Selama masa pelatihan handouts digunakan sebagai catatan ringkas untuk kegiatan yang ada

  • apa nama kegiatan tersebut
  • apa yang diperlukan sebagai hasil dari kegiatan tersebut
  • berapa lama para peserta harus melengkapinya
  • bagaimana cara peserta dalam memberitahukan hasilnya
  • peralatan atau sumber bahan apa saja yang akan dipergunakan


Petunjuk penulisan handouts

  • gunakan satu sisi dari kertas ukuran A4
  • baca ulang dan suntinglah semaksimal mungkin
  • apakah ada format lain yang lebih efektif?
  • gunakan lebih banyak “bidang putih”
  • gunakan salinan slide
  • gunakan daftar dengan bullet
  • beritahu para peserta pelatihan bahwa akan ada handouts
  • bilamana mungkin gunakan gambar-gambar


Hal-hal lainnya dalam penggunaan alat bantu

  • kegiatan mencatat
  • kegiatan, permainan, latihan
  • kelompok diskusi yang meriah
  • studi kasus dan simulasi
  • alat-alat observasi


Metode-metode utama dalam membuat catatan

  • metode vertikal yang tradisional
  • metode headline
  • cara horizontal
  • catatan-catatan berpola


Sarana Observasi

  • observasi bebas
  • laporan diri
  • pengamatan tugas
  • analisis proses
  • analisis perilaku interaktif
  • perekaman video


Contoh Laporan Diri

  • seberapa baik anda memahami sasaran dari sidang tersebut?
  • seberapa baik anda telah memberi penjelasan mengenai sasaran tersebut kepada para anggota?
  • apakah anda seharusnya mengorganisasi sidang tersebut dengan cara tertentu, dan bagaimana anda melakukannya?
  • seberapa jauh anda telah mencari dan memanfaatkan berbagai keahlian yang dimiliki para anggota?
  • seberapa baik anda memberi kesempatan kepada semua anggota untuk menyatakan pandangan-pandangan mereka?
  • seberapa jauh anda mampu membangun keterlibatan para anggota, terutama orang-orang yang amat pendiam?
  • seberapa baik anda mengendalikan interaksi antaranggota?
  • gaya kepemimpinan semacam apa yang anda pergunakan? Apakah gaya tersebut efektif? Apakah itu merupakan satu-satunya gaya yang paling efektif?
  • apakah tindakan anda dirasakan sangat membantu?
  • apa tindakan anda dirasakan kurang begitu membantu?
    - bagaimana cara anda mengidentifikasi masalah?
    - bagaimana cara anda mengelola untuk memperoleh usulan lain bagi langkah pemecahan yang diharapkan?
    - bagaimana cara anda mengidentifikasi dan menyetujui solusi atau proposal akhir yang diajukan?
    - seberapa jauh anda melakukan kesimpulan selama berlangsungnya sidang?


Catatan:

  • Gunakan skala dari 1 (sangat baik ) hingga 10 (sangat buruk) untuk mengisi pertanyaan/pernyataan di atas (bagaimana perasaaan anda sewaktu memimpin sidang ?
  • Catat hal-hal lain sebagai tambahan sejauh anda pikir relavan


11. Checklist Penyelenggaraan Pelatihan

1) Cek lingkungan

  • memesan ruang pelatihan
  • cek akses
  • pencahayaan
  • kelayakan ruang
  • bidang tembok untuk poster
  • kebersihan ruang
  • pemesanan hidangan/konsumsi
  • fasilitas parker
  • pengaturan kursi
  • akses telepon
  • ada mesin faks
  • sekretariat untuk kontak


2) Perlengkapan

  • audio recorder atau tape
  • video recorder, monitor
  • soket tiga pin
  • peralatan listrik
  • flipchart dan dudukannya
  • proyektor slide/LCD dan layar
  • podium
  • tempat air minum dan gelas
  • lodong permen dan sebagainya


3) Bahan-bahan

  • handout
  • kartu nama
  • pensil berujung runcing
  • spidol berbagai ukuran
  • pena stabile
  • pensil
  • blutack (penempel flipchart)
  • gunting
  • pelubang kertas
  • kertas A4 polos/bergaris
  • papan penjepit
  • alat-alat bantu visual


Pemeriksaan Terakhir Sesaat sebelum Berlangsungnya Sesi Pelatihan

  1. periksa kursi, meja, dan tempat duduk tambahan
  2. periksa semua ruang dan kesiapan ruang tersebut
  3. periksa peralatan dalam setiap ruang apakah bias bekerja dengan baik atau tidak
  4. periksa waktu yang diperlukan untuk persiapan hidangan, dan sebagainya
  5. periksa apakah catatan dan bahan-bahan sudah siap dan tertata
  6. periksa apakah salinan sudah lengkap berikut cadangan
  7. periksa daftar peserta
  8. apakah jam dinding sudah ada dan tepat menunjuk waktunya


Petunjuk Alat-Alat Bantu Lain

  1. jangan membuat bahan terlalu penuh dengan pesan
  2. gunakan gambar sebanyak mungkin daripada tulisan
  3. buatlah alat bantu itu sesederhana mungkin
  4. pastikan bahan itu akurat
  5. buatlah bahan itu menarik sekaligus informative (yang paling penting, bahan tersebut harus praktis dan dapat dipraktikkan pula)


Sekian artikel tentang Presentasi dan Alat Bantu Dalam Pelatihan dan Pengembangan.

Daftar Pustaka

  • Davis, E. (2008). ‘The art of training and development’ : the training managers: a handbook. Ensiklopedi. (terjemahan), Jakarta: Gramedia
  • Rae, L. (2005). ‘The art of training and development’ : effective planning.Ensiklopedi. (terjemahan), Jakarta: Gramedia

Memahami Profesi Psikologi, Tipe, dan Divisi Profesi Psikologi

$
0
0
Memahami Profesi Psikologi, Tipe, dan Divisi Profesi Psikologi - 54 kelompok divisi yang diselenggarakan oleh APA. Beberapa mewakili subdisiplin dari psikologi (misalnya, eksperimental, sosial atau klinik) sementara yang lain fokus pada bidang topikal seperti penuaan, etnis minoritas atau trauma. anggota APA, dan bahkan bukan anggota, dapat mengajukan permohonan untuk bergabung dengan satu atau lebih divisi yang memiliki kriteria kelayakan mereka sendiri dan iuran. Selain itu, masing-masing divisi memiliki tugas sendiri, website, publikasi, daftar email, penghargaan, kegiatan konvensi dan pertemuan.

Memahami Profesi Psikologi, Tipe, dan Divisi Profesi Psikologi_
image source: psychologist-school.com

Divisi 1: Psikologi Umum berkaitan dengan menciptakan koherensi antara spesialisasi psikologi beragam dengan mendorong anggota untuk menggabungkan berbagai perspektif dari subdisiplin psikologi ke dalam penelitian, teori, dan praktek mereka. Divisi 1 menyambut keanggotaan dari para ilmuwan akademik, praktisi profesional, dan psikolog yang perhatian utama adalah kepentingan umum. keanggotaan divisi termasuk berlangganan jurnal triwulanan, Ulasan Psikologi Umum.

Divisi 2: Psikologi Pengajaran kemajuan pemahaman disiplin dengan mempromosikan keunggulan dalam pengajaran dan pembelajaran psikologi. Masyarakat menyediakan sumber daya dan jasa, akses ke komunitas kolaboratif, dan kesempatan untuk pengembangan profesional. Masyarakat juga berusaha untuk memajukan beasiswa belajar mengajar, mengadvokasi kebutuhan guru psikologi, kemitraan asuh di pengaturan akademik, dan meningkatkan pengakuan dari nilai profesi guru.

Divisi 3: Psikologi Eksperimen bekerja di berbagai pengaturan termasuk universitas, perguruan tinggi, pemerintah, dan industri dan disatukan oleh komitmen mereka terhadap perkembangan psikologi eksperimental sebagai ilmu. Psikologi Buletin Eksperimental diproduksi dua sampai tiga kali per tahun.

Divisi 5
: Divisi Metode Kuantitatif dan Kualitatif berkaitan dengan mempromosikan standar yang tinggi dalam penelitian dan aplikasi praktis dari evaluasi program, pengukuran, statistik, penilaian dan metode kualitatif. anggota divisi juga dapat memilih untuk keanggotaan dalam tiga bagian yang berbeda: penilaian; metode kualitatif; dan evaluasi, pengukuran dan statistik. Divisi ini mensponsori Kontribusi Penghargaan Ilmiah Distinguished. Divisi ini mensponsori penghargaan disertasi untuk mendorong dan menghormati ulama muda yang menjanjikan. Div. 5 menerbitkan buletin triwulanan Skor.

Divisi 6: Biopsikologi dan Psikologi Perbandingan, anggota yang dikhususkan untuk mempelajari biologi perilaku. Fokus mereka adalah pada perilaku dan hubungannya dengan persepsi, pembelajaran, memori, kognisi, motivasi, dan emosi. ahli saraf perilaku mempelajari otak dalam kaitannya dengan perilaku, evolusi, fungsi, kelainan, dan perbaikan, serta interaksi dengan sistem kekebalan tubuh, sistem kardiovaskular, dan sistem regulasi energi. psikolog komparatif mempelajari perilaku manusia dan hewan lainnya, dengan mata khusus pada persamaan dan perbedaan yang mungkin menjelaskan proses evolusi dan perkembangan.

Divisi 7: Psikologi Perkembangan mempromosikan penelitian di bidang psikologi perkembangan dan standar yang tinggi dalam penerapan pengetahuan ilmiah untuk pendidikan, perawatan anak, kebijakan, dan pengaturan terkait. Divisi memilih penerima untuk G. Stanley Hall Award untuk sarjana senior, Boyd R. McCandless Award untuk psikolog perkembangan anak, dan Posisi Awards Disertasi untuk PhD baru. Newsletter Psikologi Perkembangan diterbitkan dua kali setahun.

Divisi 8: Psikologi Kepribadian dan Psikologi Sosial berusaha untuk memajukan kemajuan teori, penelitian dasar dan terapan, dan praktek di bidang kepribadian dan psikologi sosial. Anggota bekerja dalam dunia akademis dan industri swasta atau pemerintah, dan semua prihatin dengan bagaimana individu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain dan oleh lingkungan sosial dan fisik mereka.

Divisi 9: Studi Analisis Psikologis Masalah Sosial (SPSSI) menyambut psikolog dan sekutu ilmuwan sosial yang berbagi keprihatinan bersama dengan penelitian tentang aspek psikologis dari isu-isu sosial yang penting dan mata pelajaran sosial untuk membawa teori dan praktek dalam fokus pada masalah manusia dari kelompok , masyarakat, dan bangsa, dan masalah-masalah yang semakin penting yang tidak memiliki batas-batas nasional. Triwulanan Jurnal Masalah Sosial dan SPSSI Newsletter, diterbitkan tiga kali setahun, adalah publikasi resmi SPSSI ini.

Divisi 10: Psikologi Estetika, Kreativitas dan Seni berkomitmen untuk beasiswa interdisipliner, baik teoritis dan empiris, meliputi seni visual, puisi, sastra, musik dan tari. Secara dikandung, kita mempelajari tiga topik yang saling terkait: kreativitas (termasuk proses perkembangan, motivasi, afektif dan kognitif), seni (termasuk konten estetika, bentuk dan fungsi) dan respon penonton untuk seni (termasuk preferensi dan penilaian). Untuk tujuan ini, kita menerapkan kepribadian, klinis, kognitif, persepsi, budaya dan postmodern psikologi untuk beragam seniman, gaya, dan zaman. Divisi 10 menawarkan publikasi dua tahunan; tiga penghargaan tahunan, Berlyne, Arnheim, dan Farnsworth Choice; dan diskon lima jurnal khusus.

Divisi 12: Psikologi Klinis termasuk anggota APA yang inpractice aktif, penelitian, pengajaran, administrasi, dan / atau studi di bidang psikologi klinis diundang untuk bergabung divisi. mahasiswa pascasarjana di APA disetujui atau program doktor regional terakreditasi dapat menjadi anggota afiliasi siswa pada tingkat yang berkurang. Keanggotaan termasuk langganan jurnal, Psikologi Klinis: Sains dan Praktek, dan publikasi triwulanan The Psikolog Klinis.

Anggota dan afiliasi siswa juga dapat memilih untuk bergabung dengan satu atau lebih bagian divisi: Bagian II: Geropsychology klinis, Bagian III: Masyarakat untuk Ilmu Psikologi Klinis, Bagian IV: Psikologi Klinis Perempuan, Bagian VI: Psikologi Klinis dari Etnis minoritas, Bagian VII: Darurat dan Krisis, Bagian VIII: Asosiasi Psikolog di Puskesmas Akademik (APAHC), Bagian IX: Assessment, dan Bagian X: Mahasiswa Pascasarjana dan Awal Karir Psikolog. Beberapa bagian juga memiliki kategori keanggotaan untuk non-Divisi 12 anggota.

Divisi 13: Psikologi Konsultasi Masyarakat berbagi minat dalam proses konsultasi termasuk kegiatan diterapkan, penelitian dan evaluasi, serta pendidikan dan pelatihan. Divisi ini berfungsi sebagai forum untuk keterampilan konsultasi, teori dan pengembangan pengetahuan, dan diseminasi. Ini menyediakan rumah profesional bagi mereka yang memiliki identitas sebagai psikolog konsultasi. Divisi ini dihubungkan setiap anggota menjadi informasi dan rujukan nasional jaringan. jurnal divisi, Konsultasi Psikologi Journal: Praktek dan Penelitian, dikirim ke anggota empat kali per tahun.

Divisi 14: Psikologi Industri dan Organisasi (SIOP) pendukung model ilmuwan-praktisi dalam penerapan psikologi untuk semua jenis pengaturan organisasi dan tempat kerja, seperti manufaktur, perusahaan komersial, serikat buruh, dan lembaga-lembaga publik. Anggota bekerja di beberapa bidang dalam I-O psikologi, seperti pengujian / penilaian, pengembangan kepemimpinan, staf, manajemen, tim, kompensasi, keselamatan kerja, keragaman, dan keseimbangan kehidupan kerja.

Anggota harus terlibat dalam kegiatan profesional, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian, pengajaran, dan praktek, terkait dengan tujuan dari Masyarakat. Keanggotaan termasuk langganan untuk The Psikolog Industri-Organisasi (TIP) buletin triwulanan, Psikologi Industri dan Organisasi: Perspektif Sains dan Praktek (IOP) Jurnal triwulanan, dan Newsbriefs bulanan e-newsletter. SIOP juga memegang konferensi dan jatuh tahunan konsorsium. siswa graduate dipersilahkan untuk bergabung SIOP pada tingkat siswa berkurang.

Divisi 15: Psikologi Pendidikan menyediakan lingkungan kolegial untuk psikolog dengan minat dalam penelitian, pengajaran atau praktek dalam pengaturan pendidikan di semua tingkatan untuk hadir dan mempublikasikan makalah tentang pekerjaan mereka. kerja anggota divisi 'berkaitan dengan teori, metodologi dan aplikasi untuk spektrum yang luas dari isu-isu pengajaran, pelatihan dan pembelajaran. Anggota menerima Newsletter untuk Pendidikan psikolog tiga kali per tahun dan jurnal triwulanan Pendidikan Psikolog.

Divisi 16: Sekolah Psikologi terdiri dari psikolog ilmiah-praktisi yang kepentingan profesional utama berbohong dengan anak-anak, keluarga dan proses pendidikan. Divisi ini mewakili kepentingan psikolog yang terlibat dalam pemberian layanan psikologis yang komprehensif untuk anak-anak, remaja dan keluarga di sekolah-sekolah dan pengaturan diterapkan lainnya. Divisi ini didedikasikan untuk memfasilitasi praktek profesional psikologi sekolah dan aktif pendukung dalam domain, seperti pendidikan dan reformasi perawatan kesehatan, yang memiliki implikasi signifikan bagi praktik psikologi dengan anak-anak. Anggota menerima jurnal Sekolah Psychology Quarterly dan buletin triwulanan Sekolah Psikolog. Divisi ini menyambut anggota mahasiswa. psikolog sekolah non-doktor-tingkat dan praktisi dipersilakan untuk bergabung divisi sebagai afiliasi profesional.

Divisi 17: Masyarakat Psikologi Konseling menyatukan psikolog, mahasiswa, afiliasi profesional dan internasional yang didedikasikan untuk mempromosikan pendidikan dan pelatihan, penelitian ilmiah, praktek, dan keragaman dan kepentingan umum dalam psikologi profesional. Divisi ini berisi bagian yang mewakili Kemajuan Wanita; College dan Konseling Center University; Internasional; Promosi Psikoterapi Sains; Konseling Psikologi Kesehatan; Etnis dan Ras Keanekaragaman; Praktek independen; Lesbian, Gay, Biseks Kesadaran; Pencegahan; dan Psikologi Kejuruan. Lainnya Kelompok Minat Khusus juga ada. Keanggotaan terbuka untuk masters- atau psikolog tingkat doktor yang kepentingan dan kegiatan mendukung kemajuan psikologi konseling. Enam isu jurnal The Konseling Psikolog dan tiga isu dari Divisi 17 Newsletterare dikirim ke anggota setiap tahun. anggota mahasiswa dipersilakan untuk afiliasi dengan Divisi 17 melalui keanggotaan dalam Grup Afiliasi Mahasiswa (SAG). anggota non-APA dapat bergabung dengan divisi sebagai afiliasi profesional atau internasional.

Divisi 18: Psikolog di Pelayanan Publik merespon kebutuhan masyarakat di daerah-daerah seperti praktik psikologi, penelitian, pelatihan dan pembentukan kebijakan. Divisi ini terdiri dari lima bagian yang mewakili berbagai pengaturan: masyarakat dan rumah sakit negara psikolog, peradilan pidana, polisi dan keamanan publik, psikolog di Negara India dan veteran urusan. Pembagian dan bagian yang menyediakan forum bagi para anggotanya untuk membahas kepentingan profesional umum, untuk mengadvokasi kebutuhan kesehatan mental masyarakat dan untuk mempromosikan penggunaan evaluasi dan penelitian dalam program penelitian publik. Newsletter Layanan Umum Psikologi dikirim ke anggota tiga kali setahun.

Divisi 19: Masyarakat Psikologi Militer mendorong penelitian dan penerapan penelitian psikologis untuk masalah militer. Anggotanya adalah psikolog militer yang melayani fungsi yang beragam dalam pengaturan termasuk kegiatan penelitian, manajemen, menyediakan layanan kesehatan mental, pengajaran, konsultasi, bekerja dengan komite Kongres, dan menasihati perintah militer senior. Divisi ini menyediakan empat penghargaan tahunan pada konvensi APA, termasuk Yerkes Award untuk kontribusi untuk psikologi militer nonpsychologist, ditambah dua penghargaan siswa, salah satunya adalah penghargaan perjalanan. Anggota menerima jurnal triwulanan Psikologi Militer dan newsletter Militer Psikolog, diterbitkan dua kali setahun.

Divisi 20: Psikologi Pertumbuhan dan Pengembangan Dewasa berusaha untuk memajukan studi perkembangan psikologis dan perubahan sepanjang tahun dewasa. Divisi menghasilkan newsletter Pembangunan Dewasa dan Penuaan Berita tiga kali per tahun.

Divisi 21Psikologi Terapan Eksperimental dan Teknik mempromosikan pengembangan dan penerapan prinsip-prinsip psikologis, pengetahuan, dan penelitian untuk meningkatkan teknologi, produk konsumen, sistem energi, komunikasi dan informasi, transportasi, pengambilan keputusan, pengaturan kerja dan lingkungan hidup. Tujuannya adalah lebih aman, lebih efektif, dan lebih dapat diandalkan sistem melalui peningkatan pemahaman kebutuhan pengguna. Divisi ini mengakui kontribusi karir melalui George E. Briggs Disertasi Award, Earl A. Alluisi Award untuk Awal Karir Kontribusi, dan Franklin C. Taylor Award untuk kontribusi luar biasa Karir ke lapangan. Anggota menerima Divisi 21 Newsletter, Journal of Experimental Psychology: Terapan, dan keanggotaan pada daftar email dan website yang host diskusi dan informasi pekerjaan.

Divisi 22Psikologi Rehabilitasi berusaha untuk mempertemukan semua anggota APA tertarik pada aspek psikologis kecacatan dan rehabilitasi, untuk mendidik masyarakat tentang isu-isu yang berkaitan dengan kecacatan dan rehabilitasi, dan untuk mengembangkan standar yang tinggi dan praktek psikolog profesional yang bekerja di bidang ini. Anggota mungkin terlibat dalam pelayanan klinis, penelitian, pengajaran, atau administrasi. Divisi ini menerbitkan jurnal triwulanan, Rehabilitasi Psychology®, dan memiliki daftar email yang aktif. Update kegiatan profesional saat ini dan masa depan sekarang terdaftar di website divisi.

Divisi 23: Psikologi Konsumen (SCP) adalah koleksi intim ulama dan praktisi didedikasikan untuk pertumbuhan dan kemajuan psikologi konsumen. psikologi konsumen mempekerjakan pendekatan psikologis teoritis untuk memahami konsumen. Melalui partisipasi aktif dari anggotanya, SCP menumbuhkan lingkungan kolegialitas, mempromosikan interaksi untuk memfasilitasi dan mendukung kontribusi intelektual untuk disiplin. SCP mencerminkan keinginan untuk memajukan praktek psikologi konsumen dan kesejahteraan masyarakat melalui penerapan kontribusi tersebut. anggota Divisi menerima Journal publikasi triwulanan Psikologi Konsumen, dan divisi menyelenggarakan konferensi musim dingin tahunan.

Divisi 24: Psikologi Teoritis dan Filosofis mendorong dan memfasilitasi eksplorasi dan diskusi tentang teori-teori psikologis dan masalah di kedua dimensi ilmiah dan filosofis mereka dan hubungan informasi. Divisi ini memberikan penghargaan untuk yang terbaik kertas siswa diserahkan ke divisi untuk konvensi APA tahunan. Divisi Journal of Theoretical & filosofis Psikologi dikirim ke anggota triwulanan.

Divisi 25: Analisis Perilaku mempromosikan penelitian dasar, baik hewan dan manusia, dalam analisis eksperimental perilaku; mendorong penerapan hasil penelitian tersebut untuk urusan manusia, dan bekerja sama dengan disiplin ilmu lain yang kepentingannya tumpang tindih dengan orang-orang dari Divisi. Divisi menerbitkan Divisi 25 Recorder, newsletter didistribusikan dua kali setahun untuk semua anggota dan afiliasi, yang juga menerima PsycSCAN: Perilaku Analisis & Therapy, diterbitkan triwulanan. Divisi 25 berpartisipasi dalam konvensi tahunan APA, mensponsori speaker individu, simposium, dan acara khusus, seperti resepsi dan makan malam tahunan. Divisi 25 juga merupakan cosponsor aktif jam sosial dan presentasi berurusan dengan bidang analisis perilaku.

Divisi 26Psikologi Sejarah berusaha untuk memperpanjang kesadaran dan apresiasi sejarah psikologi sebagai bantuan untuk memahami psikologi kontemporer, hubungan psikologi untuk bidang ilmu lain dan perannya dalam masyarakat. Divisi ini menerbitkan jurnal triwulanan Sejarah Psychology®.

Divisi 27: Penelitian Masyarakat dan Action: Divisi Psikologi Komunitas mendorong pengembangan teori, penelitian, dan praktek yang relevan dengan hubungan timbal balik antara individu dan sistem sosial yang merupakan konteks masyarakat. Divisi mendukung 23 kelompok regional mempromosikan komunikasi antara psikolog masyarakat di enam wilayah AS, Kanada, Eropa Barat, dan Pasifik Selatan. Divisi host konferensi dua tahunan tiga hari dan telah membentuk kelompok kepentingan di bidang psikologi masyarakat internasional, psikologi pedesaan, penuaan, diterapkan pengaturan, dan anak-anak dan remaja (masalah pencegahan). Anggota menerima dua bulanan American Journal of Psychology Komunitas dan Masyarakat Psikolog, menerbitkan lima kali per tahun.

Divisi 28: Psychopharmacology dan Penyalahgunaan Zat mempromosikan pengajaran, penelitian dan penyebarluasan informasi mengenai efek obat pada perilaku.

Divisi ini dibentuk pada tahun 1967 untuk menyediakan rumah dalam APA untuk psikolog tertarik pada efek perilaku obat sistem psikoaktif atau saraf pusat, obat-obatan dan bahan kimia. Penelitian kami sering menggabungkan metode psikologi dan farmakologi untuk mempelajari interaksi perilaku, obat-obatan dan faktor lingkungan lainnya pada hewan dan manusia. Hal ini dilakukan dalam pengaturan laboratorium, klinis dan komunitas.

Divisi ini membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan penelitian hewan, toksikologi neurobehavioral, program pelatihan Psychopharmacology, pengembangan pengobatan baru untuk kecanduan narkoba, dan kebijakan publik yang berkaitan dengan regulasi obat dan penyalahgunaan zat.

Divisi 29: Psikoterapi Kemajuan Sosial bertujuan untuk memajukan ilmu pengetahuan, pengajaran, dan praktek psikoterapi. Divisi Psikoterapi berkomitmen untuk melestarikan dan memperluas psikoterapi, untuk memajukan bukti-dasar untuk psikoterapi dan hubungan psikoterapi, serta membuat manfaat psikoterapi diakses oleh semua. Divisi ini adalah komunitas praktisi, akademisi, peneliti, guru, spesialis perawatan kesehatan dan mahasiswa yang mengabdikan diri untuk kemajuan seni dan ilmu psikoterapi.

Divisi 30: Psikologi Hipnosis Sosial dikhususkan untuk bertukar informasi ilmiah, memajukan pengajaran dan penelitian yang sesuai, dan mengembangkan standar yang tinggi untuk praktek hipnosis. Bidang minat keanggotaan yang beragam, termasuk topik-topik seperti koneksi pikiran / tubuh; disosiasi; dan hipnosis dengan wanita, anak-anak, dan remaja. inisiatif saat divisi termasuk memajukan aplikasi hipnosis dalam kedokteran perilaku, pendidikan profesional dan masyarakat, dan membangun hipnosis klinis sebagai kemampuan bermutu. Divisi ini menyediakan penghargaan untuk kontribusi karir dibedakan, makalah konvensi luar biasa dan E. R. Hilgard Disertasi Award. Anggota menerima Psychological Hypnosis, buletin divisi, triwulanan. buletin meliputi artikel penelitian dan praktik, pengumuman dan program konvensi tahunan.

Divisi 31: Psikologi Asosiasi Negara, Propinsi dan Urusan Teritorial tujuan utama adalah untuk memberikan Anda dan asosiasi psikologis Anda dengan sumber daya yang berguna, layanan dan manfaat serta menjadi suara Anda untuk masalah asosiasi psikologis dalam APA. Divisi 31 menyediakan buku panduan untuk terlibat dalam kegiatan APA pemerintahan, sebuah versi singkat dari prosedur parlemen Keesey ini, program mentoring kami, alert advokasi serta catatan tentang apa asosiasi psikologis lain lakukan di seluruh negara, provinsi dan wilayah.

Divisi 32: Psikologi Humanistik mengakui kekayaan penuh dari pengalaman manusia. fondasinya termasuk humanisme filosofis, eksistensialisme dan fenomenologi. Masyarakat berupaya memberikan kontribusi kepada psikoterapi, pendidikan, teori / filsafat, penelitian, organisasi, manajemen, tanggung jawab sosial dan perubahan. The humanistik Psikolog adalah jurnal masyarakat, diterbitkan triwulanan.

Divisi 33: Intelektual dan Pembangunan Cacat upaya untuk memajukan psikologi, berdasarkan penyelidikan ilmiah dan standar yang tinggi dari praktek dalam pengobatan cacat intelektual dan perkembangan. Divisi ini memiliki lima kelompok kepentingan khusus: modifikasi perilaku dan teknologi, dual diagnosis, intervensi dini, penuaan dan dewasa pengembangan, dan membuat transisi menjadi dewasa. Anggota menerima Psikologi buletin di Intelektual dan Pembangunan Cacat tiga kali per tahun.

Divisi 34Psikologi Konservasi Masyarakat Lingkungan dan Kependudukan anggota menerapkan pengetahuan dan praktek psikologis untuk meningkatkan interaksi antara manusia dan lingkungan alam dan dibangun kami. Topik yang menarik termasuk (1) perilaku manusia dan kesejahteraan yang berkaitan dengan desain ruang yang dibangun, pemandangan alam dan lingkungan alam, (2) konservasi satwa liar dan spesies lain, (3) sinergi antara kesehatan mental manusia dan ekologi alam lingkungan, dan (4) konsekuensi psikologis kepadatan penduduk yang tinggi. Kami memelihara website, sebuah milis dan situs jejaring sosial; mempublikasikan newsletter; mengatur program konvensi APA; mempublikasikan kegiatan dan kesempatan kerja; dan mempromosikan berbagai pendekatan dalam studi psikologi lingkungan.

Divisi 35: Psikologi Perempuan memberikan basis organisasi untuk semua feminis, wanita dan pria dari segala asal kebangsaan, yang tertarik dalam pengajaran, penelitian, atau praktek dalam psikologi perempuan. Divisi ini mengakui keragaman pengalaman perempuan yang hasil dari berbagai faktor, termasuk etnis, budaya, bahasa, status sosial ekonomi, usia dan orientasi seksual. Divisi ini mempromosikan penelitian feminis, teori, pendidikan, dan praktek terhadap pemahaman dan meningkatkan kehidupan gadis dan perempuan dalam semua keanekaragaman mereka; mendorong beasiswa pada pembangunan sosial hubungan gender di konteks multikultural; berlaku beasiswa untuk mengubah basis pengetahuan psikologi; pendukung aksi terhadap kebijakan publik yang memajukan kesetaraan dan keadilan sosial; dan berusaha untuk memberdayakan perempuan di masyarakat, nasional dan kepemimpinan global. Kami menyambut anggota mahasiswa dan afiliasi. Anggota disediakan dua publikasi: Psychology of Women Quarterly, yang merupakan jurnal penelitian, teori dan ulasan, dan feminis Psikolog.

Divisi 36: Psikologi Agama dan Spiritualitas mempromosikan penerapan metode penelitian psikologis dan kerangka kerja interpretatif untuk bentuk yang beragam agama dan spiritualitas; mendorong penggabungan hasil pekerjaan tersebut ke dalam pengaturan diterapkan klinis dan lainnya; dan mendorong dialog yang konstruktif dan pertukaran antara studi psikologi dan praktek di satu sisi dan antara perspektif keagamaan dan lembaga di sisi lain. Divisi ini secara ketat nonsektarian dan menyambut partisipasi dari semua orang yang melihat agama sebagai faktor yang signifikan dalam fungsi manusia. quarterlyPsychology divisi newsletter Agama berisi artikel asli, ulasan buku, pengumuman dan berita menarik bagi anggota divisi.

Divisi 37: Anak dan Kebijakan Keluarga dan Praktek berkaitan dengan isu-isu profesional dan ilmiah relatif terhadap layanan dan struktur pelayanan untuk anak-anak dan remaja. Divisi berusaha untuk memajukan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan praktek dan berhubungan pengetahuan psikologis untuk bidang lain seperti antropologi, hukum, dan pediatri di berbagai bidang seperti pekerjaan, pendidikan, rekreasi, dan keluarga berencana. newsletter Society, Anak dan Kebijakan Keluarga dan Praktek Advokat, berfokus pada topik yang dipilih seperti kebutuhan kritis etnis minoritas, media anak-anak, efektivitas program pencegahan penganiayaan anak, dan pengobatan anak pelaku kejahatan kekerasan.

Divisi 38: Psikologi Kesehatan berusaha untuk memajukan kontribusi psikologi untuk memahami kesehatan dan penyakit melalui, kegiatan pelayanan pendidikan dan penelitian dasar dan klinis dan mendorong integrasi informasi biomedis tentang kesehatan dan penyakit dengan pengetahuan psikologis saat ini. Divisi ini memiliki kelompok keperawatan dan kesehatan dan kelompok kepentingan khusus dalam masalah penuaan, wanita, dan kesehatan minoritas. Divisi ini menerbitkan jurnal dua bulanan Kesehatan Psikologi dan newsletter kuartalan Kesehatan Psikolog. Divisi 38 menawarkan daftar program pelatihan dalam psikologi kesehatan dan memberikan penghargaan kertas mahasiswa tahunan.

Divisi 39: Psikoanalisis mewakili, dalam bidang yang luas psikologi, profesional yang mengidentifikasi diri mereka sebagai memiliki komitmen besar untuk studi, latihan dan pengembangan psikoanalisis dan psikoterapi psikoanalitik.

Divisi 40: Neuropsikologi Klinis menyediakan forum ilmiah dan profesional untuk individu yang tertarik dalam studi tentang hubungan antara otak dan perilaku manusia. Dengan demikian, Divisi 40 mempromosikan interaksi interdisipliner antara berbagai bidang minat termasuk kognitif fisiologis, perkembangan, rehabilitasi klinis, sekolah, forensik dan psikologi kesehatan. Pertukaran ide di difasilitasi oleh dorongan Divisi penelitian, pendidikan ilmiah dan praktek. Anggota menerima (dua kali setahun) Masyarakat untuk Neuropsikologi klinis, Terakhir 40, di mana isu-isu divisi yang bersangkutan dan informasi diterbitkan. Selain itu, Divisi menyajikan penghargaan mahasiswa untuk penelitian ilmiah dibedakan pada konvensi tahunan APA.

Divisi 41Psikologi Hukum mempromosikan kontribusi psikologi untuk memahami hukum dan lembaga-lembaga hukum, pendidikan psikolog dalam masalah hukum dan personil hukum dalam hal psikologis, dan aplikasi psikologi dalam sistem hukum. Divisi mengadakan pertemuan musim semi dua dan satu setengah hari dua tahunan yang meliputi kertas dan pleno. Anggota menerima Hukum jurnal dua bulanan dan Perilaku Manusia dan Amerika Psikologi-Law Society Terakhir tiga kali per tahun.

Divisi 42: Psikologi Praktek Independent menawarkan alat dan membuka peluang pembelajaran untuk meningkatkan pembangunan keterampilan profesional dan pengembangan praktek di seluruh rentang karir.

Divisi 43: Psikologi Keluarga menyediakan rumah untuk psikolog tertarik dalam keluarga dalam berbagai bentuk mereka. Klinis, ilmiah, pendidikan dan masyarakat perspektif kebijakan diwakili dengan baik dalam berbagai kegiatan divisi. masyarakat telah mencapai status khusus di ABPP dan telah mengembangkan Journal of Family Psychology, saat ini salah satu yang paling cepat berkembang APA jurnal ilmiah. masyarakat bekerja dengan Direktorat praktek untuk memastikan masuknya psikolog dalam rencana penggantian perawatan kesehatan. Sebagai satu-satunya divisi APA berfokus terutama pada keluarga, Society of Family Psychology berusaha untuk mendidik masyarakat profesional mengenai banyak keuntungan dari fokus konseptual yang lebih luas. Divisi 43 mensponsori konvensi pertengahan musim dingin tahunan. buletin kuartalan masyarakat Isthe Family Psikolog.

Divisi 44: Studi Analisis Isu Psikologis LGBT berfokus pada keragaman orientasi seksual manusia dengan mendukung penelitian, mempromosikan pendidikan yang relevan, dan mempengaruhi kebijakan profesional dan publik. Divisi 44 memiliki gugus tugas akreditasi, biseksualitas, standar profesional, kebijakan publik, pemuda, keluarga, masalah etnis / ras dan ilmu pengetahuan. Divisi mendukung Maylon-Smith Award untuk penelitian mahasiswa dan menyajikan Choice Distinguished Kontribusi tahunan. Divisi menerbitkan nya Div. 44 Newsletterthree kali setahun dan program kegiatan Divisi 44 di konvensi APA tahunan.

Divisi 45: Psikologis Studi Kebudayaan, Etnisitas dan Raceencourages penelitian tentang isu-isu etnis minoritas dan penerapan pengetahuan psikologis untuk masalah etnis minoritas. Divisi ini mempromosikan kesejahteraan masyarakat melalui penelitian dan mendorong hubungan profesional antara psikolog yang berbagi keprihatinan dan kepentingan-kepentingan ini. Keanggotaan termasuk langganan ke peer-review jurnal triwulan Keanekaragaman Budaya dan Etnis Minoritas Psikologi dan newsletter divisi, Focus, yang diterbitkan dua sampai tiga kali per tahun.

Divisi 46: Psikologi Media dan Teknologi berupaya untuk memajukan psikologi dalam praktek dan ilmu komunikasi media dan teknologi. Masyarakat adalah sebuah komunitas peneliti, psikolog dan penyedia layanan kesehatan mental lainnya, konsultan, pendidik dan profesional komunikasi secara aktif terlibat dengan semua bentuk teknologi tradisional dan media berkembang dan muncul. masyarakat mendukung studi dan penyebaran informasi yang berkaitan dengan dampak media pada perilaku manusia, serta pengembangan literasi media penting untuk masyarakat dan profesi.

Divisi 47: Psikologi Latihan dan Olahraga menyatukan psikolog, serta latihan dan olahraga ilmuwan, tertarik dalam penelitian, pengajaran dan layanan di daerah ini. APA Menjalankan Psikolog adalah kelompok yang berafiliasi dari Divisi 47. Divisi saat ini memiliki komite pada isu-isu keragaman dan pendidikan dan pelatihan. Divisi mensponsori lokakarya preconvention pada konvensi APA. TheExercise dan Olahraga Psikologi Terakhir diterbitkan tiga kali dalam setahun.

Divisi 48: Studi Perdamaian, Konflik, dan Kekerasan: Divisi Psikologi Perdamaian bekerja untuk mempromosikan perdamaian di dunia pada umumnya dan di dalam negara, masyarakat dan keluarga. Hal ini mendorong penelitian psikologis dan multidisiplin, pendidikan dan pelatihan tentang isu-isu tentang perdamaian, resolusi konflik tanpa kekerasan, rekonsiliasi dan penyebab, konsekuensi dan pencegahan kekerasan dan konflik destruktif. Divisi ini mendorong komunikasi antara peneliti, guru dan praktisi yang bekerja pada isu-isu ini dan menerapkan pengetahuan dan metode psikologi dalam kemajuan perdamaian dan pencegahan kekerasan dan konflik destruktif. Divisi ini berusaha untuk membuat hubungan dengan semua bidang pekerjaan psikologis dan damai dan menyambut partisipasi dari semua bidang disiplin. Sebuah jurnal divisi, Perdamaian dan Konflik: The Journal of Psychology Perdamaian, dipublikasikan secara triwulanan.

Divisi 49: Psikologi Kelompok dan Grup Psikoterapi menyediakan forum bagi psikolog tertarik dalam penelitian, pengajaran, dan praktek dalam psikologi kelompok dan psikoterapi kelompok. proyek saat ini meliputi pengembangan pedoman nasional untuk pelatihan doktor dan pasca-doktoral dalam psikoterapi kelompok. jurnal Divisi kuartalan, Dinamika Kelompok: Teori, Penelitian dan Praktek, dan newsletter, Grup Psikolog, dikirim ke semua anggota dan afiliasi.

Divisi 50
: Psikologi Adiktif mempromosikan kemajuan dalam penelitian, pelatihan profesional, dan praktek klinis dalam berbagai perilaku adiktif termasuk penggunaan bermasalah alkohol, nikotin dan obat-obatan lain dan gangguan yang melibatkan perjudian, makan, perilaku seksual atau belanja. Keanggotaan termasuk langganan ke peer-review jurnal Psychology of Addictive Behaviors dan newsletter divisi.

Divisi 51: Studi Analisis Psikologis Pria dan Maskulinitas (SPSMM) kemajuan pengetahuan dalam psikologi baru laki-laki melalui penelitian, pendidikan, pelatihan, kebijakan publik dan pelayanan klinis ditingkatkan untuk pria. SPSMM menyediakan forum bagi anggota untuk membahas isu-isu penting yang dihadapi orang-orang dari semua ras, kelas, etnis, orientasi seksual dan kebangsaan. SPSMM menerbitkan newsletter bagi anggota dan program sponsor pada konvensi APA tahunan.

Tags: Profesi psikologi unair, profesi psikologi unpad, profesi psikologi ui, profesi psikologi ugm, profesi psikologi pendidikan, magister profesi psikologi mercu buana, magister profesi psikologi terbaik, magister profesi psikologi umm

Sekian artikel tentang Memahami Profesi Psikologi, Tipe, dan Divisi Profesi Psikologi.

Daftar Pustaka
  • Alwisol.(2008). Psikologi Kepribadian(edisi revisi).Malang:UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang 
  • Baron,R.A & Byrne,D.(2004). Psikologi Sosial,Jilid 1(terjemahan)(edisi ketujuh).Jakarta.Erlangga 
  • Berstein, A. D., Panner, A. L., Clarke Stewart, A., Roy, J.E. (2012). Psychology, 9th edition. Belmont,CA:wadsworth Group/Thomson Learning. 
  • Ciccarelli,S.K & White,J.N (2009). Psychology(2nd ed.).New Jersey:Pearson International,inc. 
  • Feist,G.J & Rosenberg,E.L (2010). Psychology. Making Connection. New York:The McGraww-Hill Companies. 
  • Kadras, P. E. (2014). History of psychology: the making of a science. United State. Wadsworth Cengange Learning 
  • Lilienfeld, O. S., Lynn, J. S., Namy, L.L., Woolf.J. N. (2011). Psychology from inquiry to understanding, 2nd edition. Boston: Pearson Education Inc 
  • Papalia,D.E.,Old,S.W.,Feldman,R.D.(2008). Psikologi Perkembangan(terjemahan). Jakart:Kencana Prenada Group. 
  • Passer,M.W & Smith,R.E.(2008). Psychology.The Science of Mind and Behavior. New York: The McGraww-Hill Companies. 
  • Psi letter. (2014). Retrieved September 8, 2014, from http://en.wikipedia.org/wiki/Psi_(letter)
  • Psychology symbol (2014). Retrieved September 8, 2014, from http://www.all-about-psychology.com/psychology-symbol.html
  • Publication Manual of the American Psychological Association. 6the edition.(2010). Washington , DC: America n Psychologica l Association . 
  • Sarwono,S.W.(2008). Berkenalan dengan Aliran-Aliran Dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta:PT.Bulan Bintang. 
  • Sarwono, S.W.(2012). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Pers. 
  • Schafer,W.(2000). Stress Management for Wellnes (4th ed.) Belmont,CA:wadsworth Group/Thomson Learning. 
  • Wade,C.,Travis,C.(2008).Psikologi,Jilid 1, 2(terjemahan)(edisi kesembian). Jakarta:Erlangga. 
  • Waiten, W. (2010). Psychology themes and variation, 8th edition. Belmont,CA:wadsworth Group/Thomson Learning. 
  • Wothman,C.,Loftus,E.,Weaver,C. (1999). Psychology (5th ed.).New York:The McGraww-Hill Companies. 
  • Wade, C., Travris, C. (2007). Psikologi, edisi ke Sembilan. Jakarta: Indonesia. Erlangga

Definisi Neurosains Kognitif dan Alat Mempelajari Otak Manusia

$
0
0
Definisi Neurosains Kognitif dan Alat Mempelajari Otak Manusia - Neurosains kognitif, metode yang digunakan dalam mempelajari otak manusia, alat-alat yang digunakan untuk mempelajari otak dan mengetahui kerusakan yang terdapat pada otak manusia, dan gangguan yang terjadi pada otak. Melalui makalah neurosains kognitif yang dibahas Ilmu Psikologi ini diharapkan dapat memahami mengenai neurosains kognitif, metode yang digunakan untuk mempelajari otak manusia, alat-alat yang dapat digunakan untuk mempelajari otak dan mengetahui kerusakan pada otak manusia, mengetahui berbagai gangguan yang terjadi pada otak, serta dapat menghubungkan hal-hal yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.

Neurosains Kognitif

image source: innovation.saintleo.edu
Selanjutnya: Neurosains Kognisi Dalam Otak Dan Gangguan Dalam Otak

Neurosain kognitif adalah bidang studi yang menghubungkan otak dan aspek-aspek lain sistem saraf, khususnya otak, dengan pemrosesan kognitif, dan akhirnya dengan perilaku.

Otak merupakan organ dalam tubuh kita yang mengontrol langsung pikiran, emosi, dan motivasi kita. Otak bersifat direktif sekaligus reaktif terhadap organ-organ tubuh yang lain.

Lokalisasi fungsi mengacu kepada wilayah-wilayah spesifik otak yang mengontrol kemampuan-kemampuan atau perilaku-perilaku spesifik.

Sistem saraf merupakan dasar bagi kemampuan manusia untuk memahami, beradaptasi, dan berinteraksi dengan dunia sekitar. Melalui sistem ini, manusia menerima, memproses dan merespon informasi dari lingkungan.

Metode dalam mempelajari otak manusia:

  • Studi-studi postmortem (dilakukan setelah meninggal)
  • Teknik-teknik in vivo (dilakukan saat manusia ataupun hewan masih hidup)

Yang kemudian menjadi trend adalah memfokuskan pada teknik-teknik yang dapat menyediakan informasi tentang pemfungsian mental manusia ketika otak bekerja.

Studi-studi post mortem

  • Peneliti mempelajari dengan hati-hati perilaku manusia yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan otak ketika mereka masih hidup
  • Mereka mendokumentasika perilaku pasien sedetail mungkin dalam studi kasus sebelum pasien meninggal
  • Setelah pasien meninggal peneliti menguji otak pasien untuk mencari lokasi terjadinya lesi (area-area jaringan tubuh yang mengalami kerusakan seperti karena luka benturan atau penyakit).
  • Peneliti kemudian mengambil kesimpulan dan melacak kaitan antara tipe perilaku yang diamati dengan anomaly yang terdapat di lokasi tertentu pada otak.


Contoh: pasien Paul Broca (1824-1880) yang diberi nama Tan (dinamai demikian karena hanya suku kata itu yang keluar jika ia berkata-kata). Tan mengalami gangguan berat dalam kemampuan bicaranya. Masalah ini berkaitan dengan lesi di area lobus bagian depan yang sekarang dinamakan area Broca.

Studi-studi terhadap hewan

Studi in vivo pada awalnya kebanyakan dilakukan pada hewan

  • Elektroda mikro dimasukkan ke dalam otak hewan (biasanya kera atau kucing)
  • Dari sini didapati rekaman sel tunggal tentang aktivitas sebuah neuron di otak.
  • Dengan cara ini ilmuan dapat mengukur efek dari jenis-jenis stimuli tertentu .
  • Termasuk dalam jenis penelitian terhadap hewan adalah dengan melakukan pelesian selektif (penghilangan atau perusakan bagian otak tertentu lewat pembedahan) untuk mengamati cacat fungsional yang diakibatkannya.
Teknik ini dirasa memiliki banyak kekurangan dan tidak efektif.

Rekaman-rekaman listrik

Elektroencephalogram (EEG) adalah rekaman-rekaman tentang frekuensi dan intensitas listrik otak yang hidup, biasanya direkam di sebuah periode yang relatif lama. melalui EEG dimungkinkan untuk mempelajari aktivitas gelombang otak yang menindikasikan perubahan konsisi-kondisi mental seperti tidur lelap atau bermimpi

  • Elektroda dipasangkan di beberapa titik kulit kepala
  • Aktivitas listrik di otak kemudian direkam
  • Contohnya rekaman-rekaman EEG yang diambil selama tidur menyingkapkan pola-pola perubahan aktivitas listrik yang melibatkan seluruh bagian otak. Pola-pola yang muncul ketika sesorang bermimpi sangat berbeda ketika dia tertidur lelap.


Gambar EEG_
Gambar EEG

Teknik-teknik pencitraan statis

  • Teknik-teknik ini mencakup angiogram, pemindaian tomografi aksial dengan menggunakan komputer (CAT, computerized axial tomography) dan pemindaian dengan pencitraan resonansi magnetis (MRI)
  • Teknik yang berbasis sinar X (CAT) memungkinkan pengamatan yag lebih mendetail tentang abnormalitas otak skala besar seperti kerusakan yang diakibatkan benturan atau tumor, namun terbatas dalam resolusi sehingga tidak bisa menyediakan banyak informasi ttg lesi-lesi dan penyimpangan yang lebih kecil
  • Pemindaian MRI memberikan gambar dengan resolusi tinggi tentang struktur otak hidup dengan mengomputasi dan menganalisi perubahan-perubahan magnetis didalam energi dari orbit-orbit partikel didalam molekul-molekul tubuh. Namun MRI relatif mahal dan tidak menyediakan banyak informasi mengenai proses-proses fisiologis


Gambar MRI_
Gambar MRI

Pencitraan metabolis

  • Teknik ini mengandalkan perubahan-perubahan yang berlangsung di dalam otak sebagai hasil dari peningkatan konsumsi glukosa dan oksigen di area-area aktif tak
  • Ide dasarnya adalah area-area aktif didalam otak mengonsumsi lebih banyak glukosa dan oksigen ketimbang area-area yang tidak aktif.
  • Pemindaian PET mengukur peningkatan di dalam konsumsi glukosa di area-area aktif otak selama menjalankan pemrosesan informasi tertentu


Hasil gambar PET_
Hasil gambar PET
  • Pencitraan melalui resonansi magnetis secara fungsional (fMRI) adalah teknik penggambaran neuron yang menggunakan medan-medan magnetis untuk mengonstruksikan gambar detil tiga dimensi tentang aktivitas di beragam bagian otak di satu moment tertentu. Teknik ini disusun berdasarkan MRI , namun ia menggunakan peningkatan di dalam pengonsumsian oksigen untuk mengonstruksikan gambaran-gambaran aktivitas otak.


Gambar Alat fMRI_
Gambar Alat fMRI
Hasil Gambar fMRI_
Hasil Gambar fMRI
Hasil Gambar fMRI 2_
Hasil Gambar fMRI


tags: neurosains kognitif pdf, definisi neurosains, makalah neurosains kognitif, jurnal neurosains kognitif pdf, pengertian neurosains dalam pembelajaran, sejarah neurosains, fungsi kognitif adalah pdf, definisi fungsi kognitif


Daftar Pustaka
  • Sternberg, R.J. 2008. Psikolo
  • gi Kognitif edisi keempat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
  • Solso, Robert.L., Otto H.Maclin, M. Kimberly Maclin. 2007. Psikologi Kognitif (edisi kedelapan). Jakarta :Erlangga

Neurosains Kognisi Dalam Otak Dan Gangguan Pada Otak

$
0
0
Neurosains Kognisi Dalam Otak Dan Gangguan Dalam Otak - Setelah sebelumnya Ilmu Psikologi membahas tentang Definisi Neurosains Kognitif dan Metode Neurosains Kognitif, kali ini kami akan membahas mengenai anatomi umum otak: otak depan, otak tengah, otak Belakang, dan gangguan-gangguan pada otak.

Otak Depan

Otak depan terdiri atas struktur-struktur utama diantaranya: a) kulit otak (lapisan terluar hemisfer otak); b)ganglia basalis (kumpulan nucleon dan jaringan syaraf); c) sistem-sistem limbic (hipokampus, amigdala, septum); d)thalamus; e) hipotalamus.

a. Fungsi dari kulit otak : terlibat didalam pencerapan dan pemrosesan informasi indrawi, berpikir, proses kognitif lainnya, dan perencanaan serta pengiriman informasi motorik.

b. Fungi ganglia basalis : krusial bagi fungsi sistem motorik

c. Fungsi sistem-sistem limbic: hipokampus terlibat dalam pembelajaran dan memori, amigdalam mempengaruhi rasa marah dan agresi, septum mempengaruhi rasa marah dan rasa takut

d. Fungsi thalamus : stasiun pemancar utama bagi informasi sensorik yang datang menuju otak; menyalurkan informasi ke wilayah kulit otak yang tepat melaui urat-urat saraf yang berangkat dari thalamus ke wilayah-wilayah spesifik korteks.

Terdapat 4 nukleus talamik kunci yang berfungsi menyampaikan informasi visual, auditoris, somatosensoris, dan equilibrium, yaitu:

  1. Nucleus genikulat lateralis: menerima informasi dari reseptor visual via saraf-saraf penglihatan → memancarkan informasi pada korteks visual → memampukan kita melihat.
  2. Nucleus genikulat medialis: menerima informasi dari reseptor auditoris via saraf-saraf pendengaran → memancarkan informasi pada korteks auditoris → memampukan kita mendengar.
  3. Nucleus ventropoterioris: menerima informasi dari sistem saraf somatic → memancarkan informasi pada korteks somatosensori primer→ memampukan kita merasakan tekanan dan rasa sakit.
  4. Nucleus ventrolateralis: menerima informasi dari serebelum (di otka belakang) → memancarkan informasi pada korteks motoris primer → memampukan kita merasakan keseimbangan fisik.


e. Fungsi Hipotalamus : mengontrol sistem endokrin, sistem saraf otonom, indra pencecap dan rasa haus, dan fungsi-fungsi kunci lainnya.

Otak Tengah

  • Terdiri atas struktur-struktur utama diantaranya: a) kolikuli superioris (atas); b)kolikuli inferioris (bawah); c)sistem pengaktif retikularis (RAS; juga meluas sampai otak belakang); d) materi abu-abu, nucleus merah, nigra substantia, wilayah ventralis
  • Kolikuli superioris terlibat dalam penglihatan
  • Kolikuli inferioris terlibat dalam pendengaran
  • Sistem pengaktif retikularis penting untuk mengontol kesadaran, atensi, fungsi kardiorespiratoris, dan gerakan tubuh.
  • Materi abu-abu, nucleus merah, nigra substantia, wilayah ventralis memiliki peran penting untuk mengontrol gerakan tubuh


Otak Belakang

Terdiri atas struktrur-struktur utama sebagai berikut:

  • Serebelum, berfungsi penting untuk mengontrol gerakan tubuh
  • Pons ; esensial bagi keseimbangan, koordinasi dan keharmonisan gerak otot
  • Medulla oblongata, berfungsi sebagai titik persimpangan tempat saraf mengarah silang dari satu sisi tubuh ke sisi otak sebaiknya. Terlibat pula dalam fungsi seperti kardiorepiratoris, pencernaan, dan menelan.


Kulit Otak

  • Kulit otak meliputi 80% otak manusia
  • Kulit otak menjadi lapisan pembungkus terluar dua belahan otak, hemisfer otak sebelah kanan dan sebelah kiri.


Lobus-Lobus Hemisfer Otak

Neurosains Kognisi Dalam Otak Dan Gangguan Pada Otak_

- Lobus frontalis
Diasosiasikan dengan pemrosesan motorik dan proses-proses berfikir yang lebih tinggi seperti penalaran abstrak

- Lobus parietalis
Diasosiasikan dengan pemrosesan somatosensoris. Ia menerima input-input dari neuron terkait sentuhan, rasa sakit, rasa temperature, dan posisi tungkai-tungkai tubuh

- Lobus temporalis
Diasosiasikan dengan pemrosesan auditoris

- Lobus oksipitalis
Diasosiasikan dengan pemrosesan visual.

Gangguan-Gangguan Pada Otak

Ada sejumlah gangguan otak yang dapat mengganggu fungsi kognitif kita. Uraian beriku didasarkan sebagian pada kerja Gazzaniga dan kolega-koleganya (dalam Sternberg, 2008)

Stroke
Stroke terjadi ketika aliran darak ke otak mengalami hambatan. Orang-orang yang mengalami stroke biasanya menunjukkan hilangnya fungsi-fungsi kognitif. Bentuk hilangnya fungsi-fungsi ini bergantung kepada area otak mana yang dipengaruhi stroke, seperti pada gambar berikut:

Neurosains Kognisi Dalam Otak Dan Gangguan Pada Otak 2_

Simptom stroke biasanya langsung terjadi setelah stroke terjadi, berikut simptom stroke yang paling umum:

  • Mati rasa atau kelelahan diwajah, lengah atau kaki
  • Rasa bingung, kesulitan bicara atau memahami ucapan
  • Gangguan pada penglihatan
  • Pusing, mual-mual, sulit berjalan, hilang keseimbangan atau koordinasi anggota tubuh
  • Sakit kepala berat tanpa diketahui penyebabnya


Tumor otak

Tumor otak disebut juga neoplasma, dapat memengaruhi fungsi kognitif dengan cara yang sangat serius. Ada dua jenis tumor otak:

  • Pertama adalah tumor yang dimulai dari otak. Kebanyakan anak yang mengalami tumor jenis ini
  • Kedua, tumor otak yang merupakan efek dari pertumbuhan tumor dibagian tubuh lain, misalnya paru-paru.


Neurosains Kognisi Dalam Otak Dan Gangguan Pada Otak 3_

Tumor otak ada yang lunak dan ada yang ganas. Tumor lunak tidak mengandung sel-sel kanker, biasanya tumor ini bisa dihilangkan dan tidak akan tumbuh kembali. Sel-sel tumor lunak tidak menyerang sel-sel sekitarnya atau menyebar kebagian tubuh yang lain, namun jika akhirnya ia menekan area-area sensitif otak, tumor akan mengakibatkan gangguan kognitif yang serius.

Berikut ini simptom paling umum yang terjadi pada tumor otak

  • Sakit kepala, biasanya memburuk dipagi hari
  • Mual-mual dan muntah-muntah
  • Perubahan dalam suara, ucapan, penglihatan atau pendengaran
  • Gangguan pada keseimbangan atau berjalan
  • Perubahan dalam suasana hati, kepribadian atau kemampuan untuk berkonsentrasi
  • Masalah pada memori
  • Kejang otot atau gemetar
  • Mati rasa atau kelumpuhan pada lengan atau kaki


Luka Pada kepala

Luka-luka pada kepala bisa diakibatkan oleh berbagai macam faktor seperti kecelakaan kendaraan, kontak dengan benda keras, dan terkena peluru. Luka-luka ini memiliki 2 jenis; luka dalam dan luka luar.

  1. Pada luka dalam, tengkorak masih utuh namun terjadi kerusakan pada otak, biasanya dari daya mekanis suatu hantaman pada kepala
  2. Pada luka luar, tengkorak tidak lagi utuh karena sudah terjadi rembesan darah yang keluar dari kepala, luka terkena peluru salah satu contohnya.


Simptom-simptom langsung yang menyertai luka pada kepala ini mencakup:

  • Tidak sadarkan diri
  • Pernafasan tidak normal
  • Luka atau retakan yang dapat terlihat jelas
  • Keluarnya darah atau cairan bening dari hidung, telinga, atau mulut
  • Gangguan bicara atau penglihatan
  • Pupil mata tidak sama besar
  • Rasa tidak berdaya, lemah bahkan kelumpuhan
  • Pusing-pusing dan mata berkunang-kungan
  • Detak jantung meninggi bahkan bisa sampai terkena serangan jantung
  • akit di leher atau leher menjadi kaku
  • Muntah lebih dari dua-tiga kali
  • Hilangnya kemampuan mengendalikan otot kandung kemih dan otot dubur


Sekian artikel tentang Neurosains Kognisi Dalam Otak Dan Gangguan Dalam Otak.
Daftar Pustaka

  • Sternberg, R.J. 2008. Psikologi Kognitif edisi keempat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
  • Solso, Robert.L., Otto H.Maclin, M. Kimberly Maclin. 2007. Psikologi Kognitif (edisi kedelapan). Jakarta :Erlangga

Tips Cara Agar Memenangkan Debat Dengan Seseorang

$
0
0
Tips Cara Agar Memenangkan Debat Dengan Seseorang - Materi yang bagus saja tidak cukup buat memenangkan perdebatan bersama seseorang. Kamu pun mesti mampu membuatnya terbujuk bersama ajakan Kamu. TetapiKamu serta perlu sekian banyak skill seputar komunikasi, seperti bahasa badan, intonasi cara penyampaian, pemilihan bahasa, pemasangan pemikiran, dan lain-lain.

Nah, berikut ini merupakan tujuh strategi yang mesti Kamu lakukan, dan jangan sampai Kamu lakukan, yang mampu menciptakan lawan debat Kamu tidak berkutik lagi untuk melawan Kamu.

Tips Cara Agar Memenangkan Debat Dengan Seseorang_
image source: www.sutbeat.com
baca juga: Memahami Kepribadian Anda Berdasarkan Golongan Darah

1. Berbicara Sesuai Bukti

Sekiranya Kamu punya anggapan bahwa air itu mampu memadamkan api, sedangkan lawan Kamu menganggap bahwa minyak itu dapat memadakan api, sehingga, satu-satunya cara buat membuktikan siapa yg benar yakni dengan mencobanya langsung. Sehingga, ketika fakta sudah “berbicara”, selesai sudah, perdebatan tersebut sertadapat berakhir. Sebab kebenaran langsung kelihatan.

Yah, mirip seperti itu pulalah kasus perdebatan Kamu, jika Kamu memanfaatkan fakta & data. lantaran memang fakta & data itu tidak akan dapat dinafikan. Sehingga, sebelum Kamu mengawali perdebatan, persiapkanlah data-data Kamu. Ntah itu berupa statistik rekapan, hasil survey, studi kasus, dan lain-lain.

2. Tentukan Waktu Yang Tepat

Janganlah terburu-buru. Saksikan baik-baik kapan ketika paling baik buat berdebat, kapan disaat utk menghindar, Pikirkan baik-baik sebelum Kamu berdebat : Inikah kalayg pas? Inikah tempatnya

3. Jadilah Pendengar Yang Baik

Dengarkan & dengarkan lagi. Dengarkan alasan orang lain bersama saksama. Cermati bahasa badan mereka, & pahami makna kata-kata mereka sebenarnya.

4. Mengatasi Kebuntuan

Pakai kreatifitas Kamu buat menemukan jalan ke luar dari perdebatan yg berlarut-larut. Coba menonton masalah itu dari sisi pandang lain. Dapatkah Kamu laksanakansesuatu utk menekan lawan berkata Kamu biar dia sepakat dgn Kamu? Dapatkah masalah itu dipecahkan lewat kompromi ?

5. Lemparkan Pertanyaan

Pertanyaan mampu menjaga satu buah perdebatan biar sifatnya masih fair. Jangan Sampai hingga Kamu terpengaruhi oleh lawan debat Kamu. Kadang, Kamu mamputerkena pengaruh dari si lawan debat, disaat dirinya melemparkan satu buah pendapat yg sepertinya bener banget. Nah, buat menangkalnya, tanyakanlah sesuatu padanya. Ntah pertanyaan itu berupa “kenapa”, “bagaimana”, & lain-lainnya. Sebab kerapnya, suatu pertanyaan itu lebih susah disangkal, daripada suatu opini.

6. Buat Lawan Menjawab Pertanyaannya Sendiri

Yaps, menciptakan pertanyaan yg memancing si lawan untuk mengiyakan sesuatu, yg mana iyanya itu benar-benar mampu beliau sepakati, lebih manjur daripada kita mengguruinya.

7. Menjaga Hubungan Yang Baik

Tidak Sedikit perdebatan yang berahir dengan permusuhan. Perdebatan yang tidak dewasa atau lawan debat yang juga tidak dewasa dapat berakhir dengan kemarahan.Pasti saja tak ada jaminan apabila seluruh aturan ini dilakukan, sehingga seluruh lawan debat Kamu bakal bertekuk-lutut. Meskipun begitu usahakan masihmempertahankan interaksi yang baik.

Apa yang Kamu inginkan dari perdebatan tersebut? Menghina, mempermalukan, atau membuat lawan berkata Kamu kebakaran jenggot kemungkinan membuat Kamumerasa puas kepada waktu itu, namun Kamu bisa saja bakal kehilangan tidak sedikit sahabat, dan menjalani hari-hari seterusnya dengan penyesalan akibat mengikuti dorongan nafsu sesaat. Apabila memungkinkan, capailah kesepakatan yang berguna bagi ke dua pihak. Jangan mengulang-ngulang perdebatan yang sama; mariperdebatkan aspek yang lain.

Source: PsikologID

Sekian artikel Ilmu Psikologi tentang Tips Cara Agar Memenangkan Debat Dengan Seseorang.

Pengertian Antropologi Psikologi dan Penelitian di Indonesia

$
0
0
Pengertian Antropologi Psikologi dan Penelitian di Indonesia - Antropologi Psikologi (Psycological Anthropology) adalah subdisiplin ilmu antropologi. Ilmu antropologi psikologi adalah ilmu yang menjembatani kebudayaan dan kepribadian, yang menjadi fokus dari dua ilmu yang berbeda (antropologi dan psikologi), yang sebenarnya sangat erat hubungannya. Nama subdisiplin ilmu antropologi ini, sebenarnya nama baru dari ilmu yang dahulu dikenal dengan dengan nama Culture dan Personality (kebudayaan dan kepribadian), atau kadang juga disebut Ethno-psychology (psikologi suku bangsa). 

Subdisiplin ini sejak lahirnya sudah bersifat antardisiplin. Hal ini disebabkan karena bukan saja teori, konsep, serta metode penelitiannya dipinjam dari berbagai disiplin seperti antropologi, psikologi, psikiatri, dan psikoanalisa; melainkan juga para pendirinya berasal dari disiplin yang bermacam-macam, sebelum mereka menjadi ahli antropologi. Mereka itu antara lain adalah Margaret Mead (ahli antropologi), Abram Kardiner (ahli psikiatri), W.H.R. River (ahli psikologi), Erik H. Erikson (ahli psikoanalisa neo freudian), dan lain lain. Berdasarkan tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai disiplin ilmu menunjukan bahwa di sanalah ilmu antropologi budaya dan sosial dapat berhubungan dengan ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatri, dan psikoanalisa secara sangat akrab dan produktif.

Pengertian Antropologi Psikologi dan Penelitian di Indonesia_
image source: www.uwyo.edu
baca juga: Memahami Proses Sosial dan Interaksi Sosial Antropologi

Beberapa peneliti berusaha melakukan penelitian yang berkenaan dengan antropologi psikologi. Menurut Singer penelitian antropologi psikologi dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok permasalahan besar,yaitu:
  1. Kelompok hubungan kebudayaan dengan sifat pembawaan manusia (human nature).
  2. Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian khas kolektif tertentu (typical personality), dan
  3. Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian individual (individual personality).

Dari ketiga kelompok permasalahan besar itu timbul beberapa pokok permasalahan penelitian lainnya, yaitu:
  • Hubungan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan kepribadian, dan
  • Hubungan kebudayaan dengan kepribadian abnormal.

Penelitian Antropologi Psikologi di Indonesia

Penelitian antropologi psikologi di Indonesia sedikitnya dibagi menjadi dua masa, yaitu:
  • sebelum perang dunia kedua, dan
  • setelah perang dunia kedua.

1. Masa Sebelum Perang Dunia Kedua

Penelitian antropologi psikologi di Indonesia, telah dimulai jauh sebelum orang di AS dan Inggris (antara 1920-1935) memulainya. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan seorang ahli antropologi Belanda bernama A.W. Niewenhuis terhadap sifat pembawaan manusia daro beberapa suku bangsa di Indonesia. Akan tetapi penelitian antropologi psikologi di Indonesia secara intensif bukanlah dilakukan oleh orang Belanda tersebut, melainkan oleh orang Amerika yang sekaligus merintis antropologi psikologi di negara mereka bahkan juga di dunia. Mereka itu adalah Cora Dubois dan Margaret Mead yang dibantu dengan Gregory Bateson. Tujuan penelitian Margaret Mead dan Gregory Bateson adalah untuk mengetahui kepribadian khas orang Bali, dengan jalan mempelajari cara pengasuhan anak di desa Bayung Gede.

2. Masa Setelah Perang Dunia Kedua

Setelah usai perang dunia kedua, topik akulturasi dan kontak sosial telah mendapat perhatian besar dari para ahli antropologi, terutama agi mereka yang mengadakan penelitian di daerah Pasifik dan Indonesia. Hampir semua kepustakaan di mengenai akulturasi di Indonesia berkesimpulan, fenomena akulturasi di Indonesia adalah juga krisis sosial. Ahli antripologi Belanda, J. Van Baal, misalnya menganggap krisis sosial karena usaha pihak Indonesia untuk menyesuaikan diri mereka dengan zaman baru. Utnuk mencapai itu orang-orang Indonesia harus mengubah dasar pandangan hidup serta dasar cara berfikir kunonya ke yang bersifat modern. Bagi J. Van Baal, proses akulturasi bukan hanya merupakan suatu proses masuknya unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan pribumi semata-mata, melainkan juga merupakan suatu proses tambahan dan penyesuaian diri kembali dari cara hidup pribumi ke cara hidup modern.

Penelitian antropologi psikologi uang dilakukan ahli antropologi berkebangsaan Indonesia sendiri masih sedikit sekali, namun hasilnya cukup menarik. Dua orang ahli antropologi lulusan Universitas Indonesia misalnya, dalam rangka penulisan skripsi mereka telah mengadakan penelitian di bidang antropologi psikologi.

Peranan Penelitian Antropologi Dalam Pembangunan Indonesia

Penelitian Antropologi Psikologi di Indonesia ,mempunyai peranan penting dalam pembangunan bangsa, karena dapat memberi bahan keterangan untuk kepentingan juga sebagai bahan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dalam arti sebagai individu sekaligus makhluk sosial yang merupakan kesatuan bulat, yang harus dikembangkan secara imbang, selaras, dan serasi. Metode penelitian yang dipergunakan untuk penelitian terdebut, adalah seperti apa yang telah dikembangkan ahli-ahli Antropologi Psikologi AS Florence R. Kluckkhohn dan Clyde Kluckkhohn.


Daftar Pustaka
  • Endaswara, Suwardi. 2009. “Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi”. Indonesia: Media Pressindo 
  • Koentjaraningrat, 1990. “Pengantar Ilmu Antropologi””, PT Rineka Cipta

Metode Penelitian Antropologi Psikologi Menurut Para Ahli

$
0
0
Metode Penelitian Antropologi Psikologi Menurut Para Ahli - Penelitian Antropologi Psikologi di Indonesia ,mempunyai peranan penting dalam pembangunan bangsa, karena dapat memberi bahan keterangan untuk kepentingan juga sebagai bahan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dalam arti sebagai individu sekaligus makhluk sosial yang merupakan kesatuan bulat, yang harus dikembangkan secara imbang, selaras, dan serasi. 

Metode penelitian yang dipergunakan untuk penelitian terdebut, adalah seperti apa yang telah dikembangkan ahli-ahli Antropologi Psikologi AS Florence R. Kluckkhohn dan Clyde Kluckkhohn.

A. Metode-Metode Etnografis

(1) Metode Wawancara

Wawancara etnografi merupakan jenis peristiwa percakapan (speech event) yang khusus. Metode wawancara merupakan metode untuk memperoleh data dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada informan.

Jenis-jenis Wawancara
  1. Wawancara berencana, yaitu wawancara yang dilaksanakan melalui teknik-teknik tertentu, antara lain menyusun sejumlah pertanyaan sedemikian rupa dalam bentuk angket questioner.
  2. Wawancara tidak berencana, yaitu wawancara yang tidak direncanakan secara sistematis dan tidak menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilaksanakan untuk memperoleh tanggapan tentang pandangan hidup, sistem keyakinan, atau keagamaan.

Metode wawancara tidak berencana masih terbagi lagi menjadi 2 macam yaitu :
  • Wawancara terfokus (focused interview), yaitu terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak berstruktur, tetapi terpusat pada satu pokok.
  • Wawancara bebas (free interview), yaitu pertanyaan yang tidak terpusat, melainkan dapat berpindah-pindah pokok pertanyaan.

Adapun jika dilihat dari bentuk pertanyaannya, kedua wawancara di atas dapat dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu :
  • Wawancara tertutup, yaitu terdiri dari berbagai pertanyaan yang jawabannya terbatas. Terkdang pilihan jawaban hanya berbentuk “ya” dan “tidak”.
  • Wawancara terbuka, yaitu pertanyaan yang jawabannya berupa keterangan atau cerita yang luas.

(2) Metode Pengamatan

Metode observasi disebut juga metode pengamatan lapangan. Metode ini dilakukan melalui pengamatan indrawi., yaitu dengan melakukan pencatatan terhadap gejala-gejala pada objek penelitian secara langsung dilapangan. Pada metode ini pengumpulan data dilakukan dengan mencatat semua kejadian atau fenomena yang diamatai ke dalam catatan lapangan ( field notes ).

a. Jenis-jenis metode pengamatan

Ada empat macam jenis pengamatan, yaitu :


a) Pengamatan biasa
Pengamatan yang dilakukan tanpa terlibat atau kontak langsung dengan informan yang menjadi sasaran penelitiannya.

b) Pengamatan terkendali
Konsepnya hampir sama dengan pengamatan biasa. Akan tetapi perbedaanya pada metode ini peneliti terlebih dahulu memilih secara khusus calon informan sehingga mudah untuk diamati.

c) Pengamatan terlibat
Atau bisa disebut pengamatan partisipasi, yaitu metode di mana selain mengamati, peneliti juga ikut terlibat dalam kegiatan yang berlangsung serta mengadakan hubungan emosional dan soial dengan para informannya. Metode yang dalam bahasa Jerman disebut “verstehen” ini merupakan metode paling umum digunakan dalam penelitian etnografi.

d) Pengamatan penuh
Yaitu penelitian mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang sedang diteliti. Peneliti sudah diterima dan masuk ke dalam struktur masyarakat yang diamatinya. Dalam kondisi seperti ini, peneliti dapat dengan mudah bergaul.

Metode Penelitian Antropologi Psikologi Menurut Para Ahli_
image source: www.und.edu
baca juga: Pengertian Antropologi Psikologi dan Penelitian di Indonesia

B. Metode Ilmu Sosial Lainnya

(1) Metode Pengimpulan Data Riwayat Hidup Individu
Tujuan penelitian Antropologi Psikologi dengan mempergunakan metode pengumpulan dan menganalisa riwayat hidup untuk memperdalam pengertian dari si peneliti terhadap masyarakat di mana tokoh-tokoh itu hidup. Metode analisa riwayat hidup individu sangat berguna bagi penelitian antropologi psikologi, antara lain:
  1. Data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti, untuk memperoleh pandangan dari dalam mengenai gejala-gejala sosial dalam suatu masyarakat melalui pandangan dari para warga sebagai partisipan dari masyarakat yang bersangkutan.
  2. Data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti, untuk mencapai pengertian mengenai masalah individu warga masyarakat yang suka berkelakuan lain.
  3. Data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti, untuk memperoleh pengertian mendalam tentang hal-hal psikologis yang tak mudah diamati dari luar, atau dengan metode wawancara berdasarkan pertanyaan langsung.
  4. Data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti, untuk mendapat gambaran yang lebih mengenai detail dari hal yang tidak mudah akan diceritakan dengan metode wawancara berdasarkan pertanyaan langsung.

(2) Metode Mencatat Mimpi
Levine (1991, dalam Shiraev & Levy) melakukan penelitian mengenai peran budaya dan lingkungan sosial terhadap representasi konflik di dalam mimpi anak – anak. Kelompok anak yang dipilih adalah anak-anak Bedouin, Irlandia dan Israel. 3 kelompok anak ini memiliki latar belakang sosial dan agama yang sangat berbeda.

Anak Bedouin hidup seminomaden, beragama Islam, tidak menggunakan listrik dan air, serta tinggal bersama keluarga besar. Anak Israel tinggal di rumah yang besar, berlistrik, memiliki TV dan kolam renang, dan budayanya menekankan pada keseimbangan individualitas dan interdependensi. Anak Irlandia berasal dari desa yang masyarakatnya bersifat agraris, orangtua petani dan secara fisik tinggal berjauhan satu sama lain. Anak Bedouin dan Israel mengalami pengalaman konflik etnik dan politik di tempat mereka tinggal, sedangkan anak Irlandia tidak mengalaminya. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan mencatat mimpi anak-anak tersebut setiap hari selama 7 hari. Pengukuran dilakukan terhadap: (1) muncul/tidaknya konflik dalam mimpi, (2) kualitas dari konflik yang muncul, (3) isi dari konfik. Peneliti dibantu tiga orang asisten yang berasal dari negara tempat pengambilan data dan bertanggungjawab terhadap anak dimana ia berasal.

Jumlah mimpi yang dianalisis berasal dari 77 anak dimana secara umum 63% mengandung tema konflik dalam mimpinya. Dalam tiga kelompok anak, mimpi yang mengandung tema konflik dua kali lebih banyak daripada mimpi yang tidak mengandung tema konflik. Jumlah anak yang mengalami mimpi bertema konflik hampir sama pada tiap kelompok anak. Terdapat perbedaan antara anak Bedouin dengan anak Israel dan Irlandia dalam hal munculnya figur non-human dalam mimpinya. Hal ini dikaitkan dengan lingkungan fisik tempat anak Bedouin tinggal, dimana sangat tergantung pada kekuatan alam dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungannya jika dibandingkan anak Israel & Irlandia. Sedangkan anak Israel tampak berbeda dengan kelompok lainnya dalam hal isi mimpinya, yaitu adanya ancaman terhadap kemerdekaannya. anak Irlandia dibandingkan dua kelompok anak lainnya lebih merefleksikan usaha menarik diri dari hubungan interpersonal. Hal ini diduga berkaitan dengan tempat tinggal mereka yang terisolasi secara geografis dengan masyarakat perkotaan.

(3) Metode Survei Lintas Budaya
Istilah “cross-cultural studies” muncul dalam ilmu-ilmu sosial pada tahun 1930-an yang terinspirasi oleh cross-cultural survey yang dilakukan oleh George Peter Murdock, seorang antropolog dari Universitas Yale. Istilah ini pada mulanya merujuk pada kajian-kajian komparatif yang didasarkan pada kompilasi data-data kultural. Namun istilah itu perlahan-lahan memperoleh perluasan makna menjadi hubungan interaktif antar individu dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda. Dalam konteks pengertian pertama, penelitian lintas budaya merupakan kajian dalam berbagai bidang ilmu yang dilakukan dengan cara membandingkan berbagai unsur beberapa kebudayaan. Kajian perbandingan di bidang politik, ekonomi, komunikasi, sosiologi, teori media, antropologi budaya, filsafat, sastra, linguistik dan musik (ethnomusicology) merupakan beberapa bentuk kajian dalam konteks ini. Dalam konteks pengertian kedua, penelitian lintas budaya diarahkan pada kajian tentang berbagai bentuk interaksi antara individu-individu dari berbagai kelompok budaya yang berbeda. Kajian lintas budaya dalam perspektif ini mengambil interaksi manusia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati karena, sebagaimana halnya dengan pemahaman antropologis yang memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life). Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan yang perlu diteliti seharusnya tidak hanya yang ‘spektakuler’ saja. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat, maupun dialami dalam interaksi sehari-hari oleh dua atau lebih individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda merupakan wilayah amatan cross-cultural studies.

Metode survey lintas budaya berhubungan erat dengan kajian-kajian korelasional. Penelitian yang menggunakan metode ini mulanya tidak melakukan penelitian lapangan. Hal ini disebabkan karena data-data yang dikumpulkan diperoleh dari data-data sekunder dari Human Relation Area Files (HRAF) dan terkadang ditambah dangan data-data dari sumber lain. Yang kemudian berkembang adalah usaha untuk menggabungkan dengan penelitian di lapangan. Bahkan pada akhirnya ada penelitian yang tidak menggunakan data sekunder dari HRAF lagi karena sudah dianggap ketinggalan jaman dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah lagi.

(4) Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi
Konsep dan cakupan folklor cukup luas. Ada pendapat yang menawarkan konsep folklor cenderung ke arah hal-hal yang bersifat tradisional. Ada lagi yang menolak gagasan folklor sebagai hal yang hanya bersifat tradisional saja. Jika berpijak pada hakikat folklor awal, sebenarnya yang ada adalah folklor lisan. Induk dari folklor itu sebenarnya budaya lisan. Dari budaya lisan itu sebenarnya folklor semakin dikenal. Oleh karena kelisanan pula folklor menjadi menarik. Dengan kelisanan, rentan perubahan. Padalah perubahan jelas merupakan daya tarik tersendiri bagi peneliti folklor. Penelitian folklor memang perlu didasari apa dan bagaimana folklor itu. Penelitian folklor membutuhkan ketelitian yang luar biasa karena ketelitian dan jeleian adalah setengah dari keberhasilan penelitian. Jika telah memahami konsep, teori, dan aplikasi dalam penelitian secara benar maka penelitian tidak akan salah arah dan hasil penelitian pun akan maksimal. Salah seorang peneliti folklore di Indonesia yakni Koentjaranigrat.

Sekian artikel tentang Metode Penelitian Antropologi Psikologi Menurut Para Ahli.

Daftar Pustaka
  • Endaswara, Suwardi. 2009. “Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi”. Indonesia: Media Pressindo 
  • Koentjaraningrat, 1990. “Pengantar Ilmu Antropologi””, PT Rineka Cipta

Pengertian dan Metode Penelitian Kuantitatif dalam Psikologi

$
0
0
Pengertian dan Metode Penelitian Kuantitatif dalam Ruang Lingkup Psikologi - Definisi dari penelitian kuantitatif adalah penelitian yang melibatkan serangkaian pengukuran numerikal. Penelitian kuantitatif berbeda dengan penelitian kualitatif, dimana penelitian kualitatif menggunakan deskripsi verbal sebagai alat penelitiannya. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa perlu menggunakan metode?. Metode diperlukan untuk membedakan dengan opini orang awam yang kebanyakan hanya menggunakan akal sehat. Metode juga diperlukan untuk menjaga apabila sewaktu waktu ada peneliti lain yang bisa menambahkan konsep keilmuan yang lain terhadap hasil riset yang sudah kita lakukan sebelumnya.

Data yang didapatkan selama penelitian disajikan dalam bentuk angka, statistik dan sebagainya yang kemudian dianalisa dan disimpulkan. Jadi penelitian kuantitatif adalah penelitian yang bersifat deduktif, yakni dari khusus ke umum atau bersifat menggenaralisasi data-data yang didapatkan di lapangan kepada sebuah kesi(pulan umum

Pengertian dan Metode Penelitian Kuantitatif dalam Psikologi_
image source: upfrontanalytics.com
baca juga: Kelebihan dan Kekurangan Metode Penelitian Kuantitatif

Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

Ciri-Ciri Metode Kuantitatif

Tujuan Penelitian Kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan hipotesis yang dikaitkan dengan fenomena alam. Penelitian kuantitatif banyak digunakan untuk menguji suatu teori, untuk menyajikan suatu fakta atau mendeskripsikan statistik, untuk menunjukkan hubungan antarvariabel, dan ada pula yang bersifat mengembangkan konsep, mengembangkan pemahaman atau mendeskripsikan banyak hal, baik itu dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu social.

Terdapat beberapa ciri-ciri yang dapat dilihat dari desain penelitian kuantitatif, seperti :

  1. Cara samplingnya berlandaskan pada asas random.
  2. Instrumen sudah dipersiapkan sebelumnya dan di lapangan tinggal pakai.
  3. Jenis data yang diperoleh dengan instrumen-instrumen sebagian besar berupa angka atau yang diangkakan.
  4. Teknik pengumpulan datanya memungkinkan diperoleh data dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif singkat.
  5. Teknik analisis yang dominan adalah teknik statistik.
  6. Sifat dasar analisis penelitian deduktif dan sifat penyimpulan mengarah ke generalisasi.


Penggunaan Metode Kuantitatif

Metode kuantitatif dapat digunakan apabila :

  1. Bila masalah yang merupakan titik tolak penelitian sudah jelas.
  2. Bila peneliti ingin mendapatkan informasi yang luas dari suatu populasi.
  3. Bila ingin diketahui pengaruh perlakuan/treatment tertentu terhadap yang lain.
  4. Bila peneliti bermaksud menguji hipotesis penelitian.
  5. Bila peneliti ingin mendapatkan data yang akurat, berdasarkan fenomena yang empiris dan dapat diukur.
  6. Bila ingin menguji terhadap adanya keragu-raguan tentang validitas pengetahuan, teori dan produk tertentu.


Terdapat sebuah cara untuk dapat membedakan metode kuantitatif dengan metode lainnya secara mudah. Metode kuantitatif memiliki tiga unsure penting, yakni eksperimen, pemberian pertanyaan, dan observasi. Eksperimen melibatkan manipulasi beberapa variabel dan aspek. Pengukurannya merupakan pengukuran atas efek yang terjadi akibat manipulasi. Pemberian pertanyaan melibatkan sekumpulan orang yang diajukan sejumlah pertanyaan mengenai perilaku, nilai, dan sikap. Sementara observasi meliputi pengamatan pada perilaku individu. terjadi pada efek dari manipulasi yang diberikan pada kelompok. Sebelum membahas ciri penelitian kuantitatif lebih jauh, terdapat sebuah konstruk dalam metode kuantitatif yang kerap dilupakan. Konstruk ini bernama modeling dan artificial inteliigent. Berikut adalah penjelasan mengenai ciri metode kuantitatif.

1. Eksperimen
Eksperimen dalam penelitian kuantitatif dapat memiliki beragam bentuk. Eksperimen dalam penelitian kuantitatif berarti ada aspek situasi yang dimanipulasi oleh eksperimenter. Pengukurannya dilakukan pada konsekuensi yang terjadi akibat manipulasi yang dilakukan.

2. Quasi-Eksperimen
Quasi eksperimental adalah eksperimen yang tidak melibatkan manipulasi salah satu aspek variabel. Pengukurannya terjadi pada kelompok yang sebelumnya telahdibagi kedalam beberapa grup yang memang sudah ditentukan oleh eksperimenter.

3. Pemberian pertanyaan
Setidaknya terdapat tiga format dalam konteks member pertanyaan di penelitian kuantitatif. Dan setidaknya terdapat tiga cara yang dapat digunakan peneliti dalam mempresentasikan dan mendaptkn respon terkait daftar pertanyaan yang akan dibeirkan kepada responden. Metode tersebut adalah:

a) Wawancara tidak terstruktur : maksudnya adalah pewawancara tidak menyiapkan detail list pertanyaan terkait tema tertentu. Pola ini menekankan pada eksplorasi jawaban dari responden. Pewawancara juga tidak terganggu apabila wawancaranya menyimpang dari tema yang telah ditentukan. Pola ini biasanya dipakai untuk memproduksi data pada analisis konten.

b) Wawancara Semi-terstruktur : wawancara tipe ini dilakukan apabila pewawancara telah memiliki ide yang lebih jelas mengenai apa yang ingin ditanyakan pada respondennya. Pada umumnya, pada wawancara tipe ini, alur wawancara akan dibiarkan mengalir namun pewawancara tetap konsisten pada daftar pertanyaannya, sehingga ketika ada kesempatan untuk bertanya seputar tema yang ingin dibahas, maka pewawancara akan bertanya hal yang ingin ia tanyakan.

c) Wawancara terstruktur : Tipe ini dipakai apabila pewawancara memiliki pengetahuan yang jelas mengenai kemungkinan jawaban yang akan diberikan oleh responden. Biasanya akan dibuat dalam range. Contohnya: Sangat Setuju - Setuju - Ragu ragu - Tidak setuju - Sangat Tidak Setuju. Terdapat banyak keuntungan dari wawancara tipe ini, salah satunya adalah responden dapat mengisi sendiri kuesioner yang diberikan. Kuesioner tipe ini biasanya dipakai dalam penelitian psikologi social dan riset pasar.

4. Metode Observasi
Perbedaan penelitian kuantitatif dengan kualitatif terletak pada bagaimana satu set informasi ditangkap dan kemudian diolah. Penelitian kuantitatif juga disebut sering mereduksi makna karena metodenya yang dianggap mensimplifikasi subjek dan generalisasi yang dilakukan. Di lain sisi, metode kualitatif kerap dianggap tidak menggunakan metode karena menitikberatkan pada pemaknaan subjektif responden sehingga gagal mencapai ide mengenai bagaimana memahami manusia.

Sekian artikel tentang Pengertian dan Metode Penelitian Kuantitatif dalam Ruang Lingkup Psikologi.

Daftar Pustaka:
  • Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Kualitatif dan Kuantitatif

$
0
0
Kelebihan dan Kekurangan Metode Penelitian Kuantitatif  dan Kualitatif - Pada artikel sebelumnya kami telah membahas mengenai Pengertian dan Metode Penelitian Kuantitatif dalam Ruang Lingkup Psikologi. Penelitian kuantitatif berbeda dengan penelitian kualitatif, dimana penelitian kualitatif menggunakan deskripsi verbal sebagai alat penelitiannya. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa perlu menggunakan metode?.

Metode diperlukan untuk membedakan dengan opini orang awam yang kebanyakan hanya menggunakan akal sehat. Metode juga diperlukan untuk menjaga apabila sewaktu waktu ada peneliti lain yang bisa menambahkan konsep keilmuan yang lain terhadap hasil riset yang sudah kita lakukan sebelumnya.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Kualitatif dan Kuantitatif_
image source: www.focusgroupsuk.com

baca juga: Pengertian dan Metode Penelitian Kuantitatif dalam Ruang Lingkup Psikologi


Kelebihan Metode Kuantitatif
  1. Dapat digunakan untuk menduga atau meramal.
  2. Hasil analisis dapat diperoleh dengan akurat bila digunakan sesuai aturan.
  3. Dapat digunakan untuk mengukur interaksi hubungan antara dua atau lebil variabel.
  4. Dapat menyederhanakan realitas permasalahan yang kompleks dan rumit dalam sebuah model.

Kekurangan Metode Kuantitatif
  • Berdasarkan pada anggapan-anggapan (asumsi)
  • Asumsi tidak sesuai dengan realitas yang terjadi atau menyimpang jauh maka kemampuannya tidak dapat dijamin bahkan menyesatkan.
  • Data harus berdistribusi normal dan hanya dapat digunakan untuk menganalisis data yang populasi atau sampelnya sama.
  • Tidak dapat dipergunakan untuk menganalisis dengan cuplikan (sampel) yang jumlahnya sedikit (> 30)

Perbandingan antara metode kuantitatif dan Metode Kualitatif

Metode Kuantitatif


KelebihanKekurangan
Penelitian lebih berjalan sistematisPengambilan data cenderung berasal dari nilai tertinggi
Mampu memanfaatkan teori yang adaPenelitian tidak subyektif
Penelitian lebih berjalan objektifOrientasi hanya terbatas pada nilai dan jumlah.
Spesifik, jelas dan rinciDibatasi oleh peluang untuk menggali responden dan kualitas perangkat pengumpul data orisinal
Ukuran penelitian besar, sehingga menjadi nilai tambah tersendiriKeterlibatan periset umumnya terbatas

Metode Kualitatif

KelebihanKekurangan
Deskripsi dan interpretasi dari informan dapat diteliti secara mendalam.Peneliti bertanggung jawab besar terhadap informasi yang disampaikan oleh informan
Mempunyai landasan teori yang sesuai faktaBersifat sirkuler
Penelitian lebih berjalan subyektifPerbedaan antara fakta dan kebijakan kurang jelas
Sangat efektif digunakan dalam mencari tanggapan dan pandangan karna bertemu langsung.Ukuran penelitian kecil.
Adanya pemahaman khusus dalam menganalisaTidak efektif jika ingin meneliti secara keseluruhan atau besar-besaran

Perbedaan antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif dijabarkan dalam table berikut

NoUnsurPenelitian KuantitatifPenelitian Kualitatif
1Kejelasan UnsurTujuan, pendekatan, subjek, sumber data sudah mantap, dan rinci sejak awalSubjek sampel, sumber data tidak mantap dan rinci, masih flexsibel, timbul dan berkembangnya sambil jalan
2Langkah penelitianSegala sesuatu di rencanakan sampai matang ketika persiapan disusunBaru diketahui dengan mantap dan jelas setelah penelitian selesai
3Sampel dan populasiDapat menggunakan sampel dan hasil penelitiannya diberlakukan untuk populasiTidak dapat menggunakan pendekatan populasi dan sampel. Dengan kata lain dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah populasi dan sampel, istilah yang digunakan adalah setting. Hasil penelitia hanya berlaku bagi setting yang bersangkutan.
4Hipotesisa. Mengajukan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian
b. Hipotesis menentukan hasil yang diramalkan
Tidak mengemukakan hipotesis sebelumnya, tetapi dapat lahir selama penelitian berlangsung. Hasil penelitian terbuka.
5DesainDalam desain jelas langkah-langkah penelitian dan hasil yang diharapkanDesain penelitiannya adalah flexible dengan langkah dan hasil yang tidak dapat dipastikan sebelumnya.
6Pengumpulan dataKegiatan pengumpulan data memungkinkan untuk diwakilkanKegiatan pengumpulan data harus selalu dilakukan oleh peneliti sendiri.
7Analisis dataDilakukan sesudah semua data terkumpulDilakukan bersamaan dengan pengumpulan data.
8Pemberi InformasiDisebut respondenDisebut informan
9DataBerupa data kuantitatif atau dalam bentuk angkaBerupa narasi dan angka
10Instrumen penelitian Berupa kuisioner yang tidak boleh diinterpretasikan oleh pengedar kuisioner dan tidak juga boleh ditambah atau dikurangi Instrument penelitian adalah peneliti sendiri, sehingga peneliti harus konseptual dan teoritikal.

Sekian artikel Ilmu Psikologi tentang Kelebihan dan Kekurangan Metode Penelitian Kuantitatif  dan Kualitatif.

Daftar Pustaka

  • Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.


Pengertian & Konsep Dasar Penelitian Kualitatif Menurut Ahli

$
0
0
Pengertian dan Konsep Dasar Penelitian Kualitatif Menurut Ahli - Dalam artikel ini akan membahas mengenai: hakikat dan prinsip dasar penelitian kualitatif, perspektif metode kualitatif, konsep dasar penelitian kualitatif. Melalui artikel ini diharapkan dapat memahami hakikat (prinsip) dan konsep dasar penelitian kualititatif.

Latar Belakang

  • Tradisi dalam metode penelitian ilmu psikologi menggunakan kerangka berpikir ilmu alam dalam menjelaskan batasan mengenai apa yang dianggap ilmiah.
  • Pendekatan ilmu alam: perlunya menemukan dan mengikuti hukum-hukum pasti dalam melaksanakan penelitian seperti: reliabilitas, validitias, replikasi dsb.
  • Penelitian-penelitian positivistik memberikan warna dalam perkembangan psikologi.
  • Penelitian positivistik menekankan pada cara berfikir linier “cause-effect”; hubugan linier antara variable bebas dan tergantung
  • Hal ini terlihat dari banyaknya hasil penelitian dan buku yang menggunakan kerangka berpikir yang positivistik
  • Pendekatan kuantitatif tidak selalu di bawah payung positivistik, yang lebih dikenal dalam psikologi adalah pendekatan kuantitatif yang positivistik
  • Lalu adakah pendekatan selain positivistik dalam menjabarkan fenomena sosial?
  • Kualitatif-interpretif sudah banyak digunakan dalam penelitian lainnya seperti: antropologi dan sosiologi, namun jarang digunakan dalam kajian psikologi
  • Penyebabnya: kebingungan menyangkut peran dan posisi teori, cara menganalisa dan menginterpretasi.

Pengertian & Konsep Dasar Penelitian Kualitatif Menurut Ahli_
image source: chronicle.umbmentoring.org

Paradigman dalam ilmu sosial dan manusia

1. Paradigm Positivistik

  • Ilmu didasarkan pada hukum-hukum dan prosedur-prosedur baku bukan “common sense”
  • Ilmu bersifat deduktif (umum-khusus)
  • Ilmu bersifat nomotetik: didasarkan pada hukum-hukum kausal yang universal.
  • Ilmu pengetahuan bersumber dari indra


2. Paradigman Fenomenologis / Interpretative

  • Dasar untuk menjelaskan peristiwa sosial dan manusia menggunakan “common sense”. Pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalamnya. Dari hal tersebutlah langkah awal penelitian ilmu-ilmu sosial
  • Pendekatan induktif (khusus-umum)
  • Ilmu bukan bersifat nomotetis tapi idiografis (khusus)
  • Pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui indra, akan tetapi pemahaman dan penginterpretasiaan jauh lebih penting.


Kritik terhadap pendekatan kuantitatif-positivistik

  • Fenomena sosial bukan di luar individu, tetapi berada dalam benak (interpretasi) individu.
  • Objektivitas dianggap tidak dapat sepenuhnya dicapai, meskipun usaha tertentu sudah dilakukan (pengendalian eksperimen).
  • Objektif hanyalah ilusi, proses standarisasi mengarah pada diubahnya dunia sosial menjadi dunia yang artifisial yang sama sekali berbeda dari dunia nyata.
  • Penekanan pada kuantifikasi dan jumlah seringkali menghasilkan ‘makna’ yang lebih dekat dengan keyakinan-keyakinan peneliti daripada makna yang hidup di kepala subjek penelitian
  • Penggunaan hipotesa menghalangi kemungkinan munculnya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang berbeda, memaksa responden untuk memberikan jawaban sesuai pilihan jawaban yang tersedia. Yang berakibat pada temuan yang diperoleh sangat terbatas.


Berikut adalah sumber tambahan bacaan yang bukan saya tulis sendiri akan tetapi yang coba saya rangkum dari beberapa sumber.

Pengertian Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigm, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Perspektif, strategi, dan model yang dikembangkan sangat beragam. Secara umum dalam penelitian kualitatif terdapat hal-hal berikut :

  1. Data disikapi sebagai data verbal atau sebagai sesuatu yang dapat ditranporsikan sebagai data verbal
  2. Diorentasikan pada pemahaman makna baik itu merunjuk pada ciri, hunngan sistematika, konsepsi, nilai, kaidah dan abstraksi formula pemahaman.
  3. Mengutamakan hubungan secara langsung antara peneliti dengan hal yang diteliti
  4. Mengutamakan peran peneliti sebagai instrument kunci.


Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai penelitian yang temuan- temuanya tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau bentuk hitungan lain. Contohnya, dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat hidup, dan prilaku seseorang, peranan organisasi, gerakan social, atau hubungan timbale balik. Sebagian datanya dapat dihitung sebagaimana data sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif.

Bodgan dan Taylor (1975: 5) mendefenisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskristif berupa kata-kata tulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Menurut mereka, pendekatan ini di arahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu kebutuhan.

Pengajian penelitin kualitatif atau inkuiri alamiah telah di lakukan terlebih dahulu oleh williem dan rauscha ( 1969), kemudian hasil mereka di ulas lagi oleh guba dan ahirnya di simpilkan atas dasar tersebut beberapa hal sebagai berikut:

  1. Penelitian kualitatif adalah penelitian inkuiri naturalistic atau alamiah.
  2. Sejauah mana tingkat kenaturalistikannya merupakan kemapuan yang di lakukan oleh peneliti.
  3. Peneliti harus mampu memberikan stimulus atau kondisi anteseden yang mampu di respons oleh informan.
  4. Peneliti harus mampu mengatasi respons dari subjek informansehingga hanya respons yang sesuai dengan tema saja yang di sampaikan informan.
  5. Inkuiri naturalistic, peneliti tidak perlu konsepsi-konsepsi atau pemahaman teoretik tertentu mengenai lapangan.
  6. Istilah naturalistic merupakan istilah yang tidak memodifikasi gejala-gejala.


Secara harfiah, sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka (Strauss dan Corbin, 1990 dalam Hoepfl, 1997 dan Golafshani, 2003). Kualitatif berarti sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat dibalik fakta. Kualitas, nilai atau makna hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui linguistik, bahasa, atau kata-kata. Oleh karena itu, bentuk data yang digunakan bukan berbentuk bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat atau frekuensi; yang biasanya dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematik atau statistik (Creswell, 2002).

Menurut Creswell (2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya. Lebih jelasnya, pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

A qualitative approach is one in which the inquirer often makes knowledge claims based primarily on constructivist perspectives (i.e. the multiple meanings of individual experiences, meanings socially and historically constructed, with an intent of developing a theory or pattern) or advocacy/ participatory perspectives (i.e. political, issue-oriented, collaborative or change oriented) or both (Creswell, 2003, hal.18).

Lebih jauh, Creswell menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan dibangun melalui interprestasi terhadap multi perspektif yang berbagai dari masukan segenap partisipan yang terlibat di dalam penelitian, tidak hanya dari penelitinya semata. Sumber datanya bermacam-macam, seperti catatan observasi, catatan wawancara pengalaman individu, dan sejarah.

Penelitian yang menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami obyek yang diteliti secara mendalam. Lincoln dan Guba (1982) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk membangun ideografik dari body of knowledge, sehingga cenderung dilakukan tidak untuk menemukan hukum-hukum dan tidak untuk membuat generalisasi, melainkan untuk membuat penjelasan mendalam atau ekstrapolasi atas obyek tersebut.

Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bertujuan memperoleh teori-teori atau hukum-hukum hubungan kausalitas yang general yang memungkinkan peneliti melakukan prediksi dan pengendalian seperti yang dilakukan pada penelitian ilmu alam, penelitian kualitatif berupaya membangun pemahaman (verstehen) dan penjelasan atas perilaku manusia sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 2000).

Penelitian kualitatif bermaksud menggali makna perilaku yang berada dibalik tindakan manusia. Interpretasi makna terhadap perilaku ini tidak dapat digali melalui verifikasi teori sebagai generalisasi empirik, seperti yang dilakukan pada panelitian kuantitatif. Dengan kata lain, penelitian kualitatif bermaksud memahami obyeknya, tetapi tidak untuk membuat generalisasi melainkan membuat ekstrapolasi atas makna di balik obyeknya tersebut. Para peneliti kualitatif mengungkapkan dan menjelaskan kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik obyek yang ditelitinya, yang terbentuk dari keterhubungan berbagai nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan, bukan dari ekstrasi atau turunan dari konteks pengertiannya yang menyeluruh, seperti pernyataan David dan Sutton (2004) berikut ini:

The qualitative researcher is more interested in the fact that meanings come in packages, wholes, ways of life, belief system and so on. Attention to ‘meanings; in this sense is a reference to the ‘holistic’ fabic of interconnected meaning that form a way of life and wich cannot remain meaningful if they are extracted and broken down into separate units outside of their meaningful context (David dan Sutton, 2004, hal. 35).

Untuk mengkaji realita kehidupan secara menyeluruh, tidak dapat dilakukan hanya melalui pengalaman seseorang yang bersifat individual, tetapi harus melalui mempertimbangkan jalinan antar individu anggota kelompok masyarakat yang diteliti. Kehidupan itu sendiri terdiri dari unit-unit, baik individu maupun kelompok yang saling terkait dalam suatu jaringan yang saling mendukung dan melengkapi, sehingga tidak dapat hanya dipandang dari satu sisi saja. Pada dasarnya, untuk menggambarkan kehidupan manusia, kajian penelitian tidak dapat dilakukan dengan memisahkan dan mereduksinya menjadi unit-unit yang saling terpisah, seperti yang dilakukan pada penelitian kuantitatif. Singkatnya, mengkaji kehidupan manusia secara holistik dapat lebih bermakna daripada melihatnya dalam kondisi terpisah-pisah. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam pernyataan berikut ini:

Qualitative research claims to describe lifeworlds ‘from the inside out’, from the point of view of the people who participate. By so doing it seeks to contribute to a better understanding of social realities and to draw attention to processes, meaning patterns and structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as a rule, not consciously known by actors caught up in their unquestioned daily routine (Flick, Kardorff, dan Steinke, 2004, hal. 3).

Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif yang mempunyai kebebasan berkemauan dan berkehendak, yang perilakunya hanya dapat dipahami dalam konteks budayanya, dan perilakunya yang seringkali tidak didasarkan oleh hukum sebab-akibat seperti yang terdapat pada hukum-hukum alam. berbeda dengan benda yang sekedar dapat bergerak seperti yang diamati dalam penelitian ilmu alam, manusia adalah mahkluk sosial yang dapat bertindak dan berkehendak atas dasar berbagai alasan-alasan humanistik, sehingga seringkali tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan yang mekanistik. Karena pada dasarnya manusia tidak sepenuhnya merupakan benda atau mahkluk yang mekanistis, cara-cara mekanistik yang menggunakan pendekatan kuantifikasi tidak tepat digunakan untuk menelitinya.

Untuk mencapai hal tersebut, penelitian kualitatif lebih menekankan pada bahasa atau linguistik sebagai sarana penelitiannya. Sarana bahasa lebih mampu untuk mengungkapkan perasaan, nilai-nilai yang berada dibalik perilaku manusia (Lawson dan Garrod dalam Daivid dan Sutton, 2004). Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa (Suriasumantri, 2007). Bahasa merupakan cerminan ungkapan perasaan dan nilai-nilai manusia.

Manusia hidup adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya ke dalam bentuk perbuatan dan pengunkapan linguistik, baik lisan maupun tertulis. Tindakan dan ucapan merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan untuk merefleksikan perasaan dan pikiran seseorang. Jatidiri manusia pada prinsipnya berkaitan erat dengan fungsi dirinya sebagai pemakai bahasa. Tanpa kemampuan berbahasa yang baik, manusia tidak mampu berpikir dan mengungkapkan hasilnya secara sistematis dan teratur.

Disamping itu, bahasa mencerminkan tradisi, nilai dan budaya masyarakat yang menggunakannya. Makna dibalik bahasa yang digunakan suatu masyarakat mencerminkan konteks budaya dan lingkungannya. Perilaku tindakan dan penggunaan bahasa merupakan satu kesatuan yang membentuk norma-norma yang diciptakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, melalui sarana bahasa, penelitian kualitatif mampu mengangkat pluralisasi hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan secara lebih mendalam (Flick, 2002). Sarana ukuran atau angka yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif memang bersifat obyektif, solid, tidak terbantahkan dan obyektif, tetapi tidak dapat menggambarkan detail-detail penjelasan perbedaan dalam cara memandang terhadap makna secara mendalam.

Sementara itu, meskipun penggunaan sarana bahasa di dalam penelitian kualitatif dianggap menyebabkan hasil penelitian bersifat subyektif, tetapi biasanya kaya akan detail makna yang berada dibalik tradisi, budaya dan perilaku manusia dan masyarakat yang diteliti. Subyektifitas itu sendiri secara alamiah muncul karena hasil penelitian sangat terkait dengan konteks lingkungan penelitian, sehingga memiliki perbedaan terhadap hasil penelitian yang terdapat di tempat lain.

Agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna yang berada dibalik obyek yang diteliti, Denzin dan Lincoln (1994) menyatakan bahwa penelitian kualitatif harus dilaksanakan pada kondisi alami. Guba dan Lincoln (1985) menyebut pendekatan penelitian yang demikian sebagai pendekatan naturalistik. Menurut pendekatan ini, data penelitian harus diperoleh pada kondisi dan situasi yang sebenarnya, atau bukan di laboratorium. Pengamatan pada lingkungan alami akan menunjukkan hubungan antara tindakan dan linguistik digunakan dalam kondisi yang sebenarnya secara alamiah, dengan konteks lingkungan yang mempengaruhinya. Jika pengamatan terhadap tindakan dan bahasa dilakukan dil aboratorium, dapat diibaratkan seperti pengamatan yang dilakukan pada sebuah panggung sandiwara. Observasi penggunaan lingustik pada konteks alamiah yang sebenarnya dapat mengungkapkan fungsi lingustik tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang, tetapi menggambarkan peran pentingnya di dalam pemanfaatan nilai-nilai budaya dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya.

Sebagian besar penulis dan peneliti mensyaratkan bahwa pengambilan data penelitian kualitatif harus dilakukan sedekat mungkin, bahkan beberapa metoda penelitian kualitatif, seperti metoda penelitian ethnografi, mensyaratkan penelitinya terlibat langsung di dalam setting yang ditelitinya, seperti yang dijelaskan oleh Patton (2001) berikut ini:

Qualitative research uses a naturalistic approach that seeks to understand phenomena in context-specific settings, such as "real world setting [where] the researcher does not attempt to manipulate the phenomenon of interest" (Patton, 2001, hal. 39)

Oleh karena itu, data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi perilaku masyarakat yang diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi lingkungan disekitarnya. Untuk mencapai hal tersebut jenis data yang digunakan bervariasi, diantaranya adalah pengalaman personal, introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara, observasi lapangan, perjalanan sejarah dan hasil pengamantan visual, yang menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian. Lebih jelasnya, perhatikan dua pengertian komprehensif penelitian kualitatif, berikut ini:

Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. It consists of a set interpretive, material practices transform the world. They turn the world into a series of representations, including filed notes, interviews, conversations, photographs, recordings, and memos to self. This means that qualitative researches study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them (Denzin and Lincoln, 2005, hal. 3).

Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of a variety of empirical materials - case study, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts - that describe routine and problematic moments and meanings in individuals’ lives. Accordingly, qualitative research deploys wide range of interconnected methods, hoping always to get a better fix on the subject matter at hand (Denzin 1994, hal. 2).

Untuk memenuhi kebutuhan data yang beranekaragam tersebut, penelitian kualitatif menggunakan berbagai metoda pengumpulan data, seperti wawancara individual, wawancara kelompok, penaelitian dokumen dan arsip, serta penelitian lapangan. Antara metoda satu dengan yang lainnya tidak saling terpisah, tetapi saling berkaitan dan saling mendukung untuk menghasilkan data yang sesuai dengan kebutuhan. Data yang diperoleh dari suatu metoda disalingsilangkan dengan data yang diperoleh melalui metoda yang lain, sehingga menghasilkan data yang dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kenyataan (reliabel).

Untuk menjalankan tuntutan metoda yang demikian, penelitian kualitatif menempatkan manusia sebagai figur terpenting dalam penelitian. Berbeda dengan penelitian kuantiatif yang menempatkan kuisener, rumus matematika dan statistik sebagai instrumen pengumpulan dan pengolahan data, penelitian kualitatif memposisikan manusia sebagai instrumen utama penelitian. Peneliti sebagai manusia berhubungan langsung dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pengumpulan, analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu, realita yang berhasil digali dan ditemukan melalui penelitian kualitatif sering dianggap bersifat subyektif, karena sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas pihak-pihak yang terkait, baik peneliti maupun partisipan yang terlibat di dalamnya (Golafshani, 2003).

Untuk menghindari temuan yang subyektif, penelitian kualitatif menggunakan bermacam sumber data. Denzin dan Lincoln (2005) menjelaskan bahwa sumber data yang dipergunakan diantaranya adalah catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman dan berbagai artefak, dokumen atau arsip yang terdapat di lapangan. Setiap sumber data tersebut disalingsilangkan agar data yang diperoleh dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kebutuhan (reliabel).

Untuk mencapai hal tersebut, metoda yang dipergunakan adalah metoda triangulasi, yaitu metoda yang menggunakan beberapa sumber data untuk mencapai konvergensi data sehingga mencapai data yang valid (Golafshani, 2003). Secara khusus, Lincoln dan Guba (1985), menyebut reabilitas di dalam penelitian kualitatif dipenuhi melalui kredibilitas (credibility) partisipan, konsistensi (consistent) dan transferabilitas (transferability) temuan. Sedangkan validitas dapat dicapai melalui kualitas (quality) data, ketepatan (rigor) dan kejujuran (trustworthiness) pengungkapannya.

Berdasarkan pembahasan di depan, maka secara hakikat keilmuan, karakteristik penelitian kualitatif dapat disimpulkan sebagai berikut:

Secara ontologis, penelitian kualitatif memandang realita terbentuk dari hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan berdasarkan sistem makna individu. Oleh karena itu, fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas dengan konteksnya. Hal ini perlu dilakukan karena tingkah laku sebagai fakta tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang bebas nilai dan bebas konteks.

Subyek penelitian kualitatif adalah tingkah laku manusia sebagai individu yang menjadi anggota masyarakat. Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu dengan kepribadiannya dan pada interaksi antara pendapat internal dan eksternal tingkah laku seseorang terhadap latar belakang kehidupan sosialnya. Para peneliti kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan yang terbentuk secara alami seiring dengan perjalanan sejarah, yang dilatarbelakangi oleh nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu, tugas peneliti adalah menemukan kebenaran dibalik keteraturan itu pada umumnya dan khususnya nilai-nilai yang melatarbelakanginya, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori atau aturan yang ada.

Jadi, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk melakukan eksplorasi atas teori dari fakta di dunia nyata, bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Penelitian kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai landasan untuk melakukan verifikasi.

Secara epistemologis, di dalam penelitian kualitatif, proses penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan hasil yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen utama pengumpul data merupakan salah satu karakteristik utama penelitian kualitatif. Hanya dengan keterlibatan peneliti dalam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.

Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis dan ekstrapolasi. Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori, jadi bukan dalam bentuk frekuensi. Untuk mencapai hal tersebut, sarana berpikir yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi bahasa, yang ditempuh dengan cara merubah data ke dalam penjelasan-penjelasan yang bersifat formulatif. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu makna ke makna lainnya, kemudian dirumuskan suatu pernyataan teoritis.

Secara aksiologis, konsep atau teori yang diperoleh dari proses penelitian kualitatif dapat dimanfaatkan untuk membangun kehidupan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan kepada nilai-nilai dasar kehidupan mereka sendiri. Nilai-nilai yang digali melalui interaksi antara peneliti dengan partisipannya dapat menghasilkan teori lokal dan spesifik yang dapat merepresentasikan kehidupan sosial, budaya dan tradisi, yang terkritalisasi melewati sejarah kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti.

Pemanfaatan nilai-nilai spesifik tentu saja akan sangat sesuai dengan kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti. Apabila nilai-nilai yang bersifat lokal dan spesifik tersebut hendak digeneralisasikan dan dimanfaatkan pada lokasi atau kasus yang lain, harus melalui proses khusus yang disebut sebagai transferabilitas. Proses tranferabilitas biasanya dilakukan melalui serangkaian proses dialog teori yang memperbandingkan antara konsep atau teori yang ditemukan dengan teori yang ada dan telah diakui. Melalui proses tersebut, nilai-nilai yang bersifat lokal, spesifik dan kontekstual dapat di dkonfirmasikan terhadap teori-teori general sebagai upaya untuk memberikan ilustrasi kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan manfaatnya di dalam pembangunan kehidupan masyarakat secara umum.

Sekian artikel Ilmu Psikologi tentang Pengertian dan Konsep Dasar Penelitian Kualitatif Menurut Ahli.

Daftar Pustaka

  1. Alsa, A. (2003), Pendekatan kuantitatif & kualitatif serta kombinasinya dalam penelitian psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  2. Alwasilah, C. (2003), Dasar-dasar merancang dan melakukan penelitian kualitatif, Jakarta: Pustaka Jaya
  3. Creswell, W.J. (1994), Research design: qualitative & quantitative approaches, California: Sage Publications, Inc.
  4. Moleong, J.L. (2004), Metodologi penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya
  5. Parker, I. (2005), Qualitative psychology: introducing radical research, UK: Open University Press
  6. Poerwandari, K. (2009), Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia, Depok: LPSP3, Fakultas Psikolgi UI
  7. Sugiyono (2008), Memahami penelitian kualitatif, Bandung: Alfabeta

Peranan Teori dalam Penelitian Kualitatif Menurut Para Ahli

$
0
0
Peranan Teori dalam Penelitian Kualitatif Menurut Para Ahli - Dalam artikel ini dibahas teori sebagai penopang/ pendukung sekaligus temuan penelitian kerangka konseptual dalam penelitian kualitatif. Melalui artikelini diharapkan mampu memahami teori dalam penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif tidak butuh teori?

  • Peneliti tidak dapat melihat bangunan pemahaman yang telah tertata mengenai topik yang sedang ditekuninya.
  • Ia tidak tahu sudah sampai dimana pertanyaan-pertanyaan diajukan, apa sudah ada jawaban yang tertemukan, apakah ada perbedaan pendapat para ahli, apakah ada ketidakpuasan dari penelitian terdahulu.
  • Akan sangat membantu dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut mengenai topik kajiannya, dan memilih pertanyaan yang fokus sekaligus signifikan.
  • Glesser dan Strauss (1967) mengatakan sama pentingnya antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Peranan Teori dalam Penelitian Kualitatif Menurut Para Ahli_
image source: cabmarket.kz
baca juga: Pengertian dan Konsep Dasar Penelitian Kualitatif Menurut Ahli

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penelitian kualiatatif

  • Bahasan mencakup aspek yang relevan dengan isu
  • Pemahaman teoritis terefleksikan dari materi-materi subtantif yang didiskusikan
  • Materi teoritis diambil dari dalam dan dari luar Indonesia
  • Referensi diupayakan tidak ketinggalan zaman
  • Peneliti memahami konteks teoritis, konteks metodologis, teori yang mendasari dari penelitian-penelitian lain yang dikutipnya.


Teori-teori dasar dengan kekuatan khususnya

  • Glesser dan Strauss sendiri cenderung menggunakan model diskusi, karena strategi komparatif yang diambil memberi penekanan besar pada teori bukan sebagai produk akhir melainkan teori sebagai suatu proses. Teori merupakan suatu entitas yang terus berkembang, bukan suatu produk yang telah sempurna.


Teori berdasar data akan merefleksikan realitas (Glaser dan Strauss, 1967)

  • Sering kita baca di jurnal sebuah studi yang sangat empiris, yang dalam kesimuplan tiba-tiba menyimpulkan eksplanasi yang diambil dari teori dengan logika-deduktif.
  • Yang menyebabkan kekayaan data yang diperoleh tidak semuanya terpaparkan.
  • Hal ini disebabkan peneliti tidak dilatih untuk berteori dari data, peneliti hanya dilatih untuk melakukan verifikasi dan uji hipotesis.
  • Yang terjalin dalam penelitian kualitatif adalah bahwa pertanyaan penelitian dan keseluruhan kerangka pemikiran penelitian yang tersusun merupakan hasil jalin-menjalin pengamatan pribadi dan konsep-konsep teori formal.
  • Teori personal: pemahaman personal yang diperoleh melalui bacaan, diskusi, minat peneliti dalam menekuni topik-topik tertentu.
  • Yang menjadi masalah adalah bagaimana teori personal ini bukan hanya sekedar teori biasa (hanya pengalaman subjektif) bukan merefleksikan realitas sosial.
  • Yang perlu diperhatikan oleh peneliti kualitatif adalah melakukan langkah-langkah sistematis, mempertimbangkan berbagai konsep dan teori formal yang telah dilakukan dengan tetap bersikap kritis.
  • Teori dan penelitian yang telah dilakukan dapat membantu merumuskan pertanyaan penelitian secara lebih terfokus.
  • Hasil pengamatan: istri yang mengalami KDRT sering tidak berhasil keluar dari kemelut permasalahannya.
  • Teori pribadi: para istri telah kehilangan harapannya, atau para istri tidak percaya bahwa mereka dapat keluar dari masalahnya.
  • Teori formal: dalam masyarakat patriarkal, suami dianggap pihak yang berhak menentukan apa yang baik dan tidak baik, dengan demikian suami mengembangkan keyakinan kalau ia selalu benar. Begitupun dengan anggapan masyarakat luas.


Berikut contoh penggunaan teori dalam penelitian kualitatif yang diambil dari jurnal qualitative health research oleh Chun, S. dan Lee, Y. 2008. Klik Disini
Sekian artikel Ilmu Psikologi tentang Peranan Teori dalam Penelitian Kualitatif Menurut Para Ahli

Daftar Pustaka

  1. Alsa, A. (2003), Pendekatan kuantitatif & kualitatif serta kombinasinya dalam penelitian psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  2. Alwasilah, C. (2003), Dasar-dasar merancang dan melakukan penelitian kualitatif, Jakarta: Pustaka Jaya
  3. Creswell, W.J. (1994), Research design: qualitative & quantitative approaches, California: Sage Publications, Inc.
  4. Chun, S., Lee, Y. (2008). The Experience of Posttraumatic Growth for People with Spinal Cord Injury. Journal of Qualitative Health Research (18). 877.
  5. Moleong, J.L. (2004), Metodologi penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya
  6. Parker, I. (2005), Qualitative psychology: introducing radical research, UK: Open University Press
  7. Poerwandari, K. (2009), Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia, Depok: LPSP3, Fakultas Psikolgi UI
  8. Sugiyono (2008), Memahami penelitian kualitatif, Bandung: Alfabeta

Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Studi Fenomenologi

$
0
0
Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Studi Fenomenologi - Dewasa ini banyak kita temui kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak dan remaja. Kasus kekerasan seksual sebagian besar dialami remaja putrid. Setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Penelitian dari Abar & Subardjono (1998), menunjukkan bahwa berdasarkan data usia pelaku perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan tidak mengenal usia.

Yayasan kepedulian untuk Anak (KAKAK) Surakarta selama tahun 2000 mencatat telah terjadi 90 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak yang korbannya mencapai 18 orang (Suara Merdeka, 2001), ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Solihin (2004) dalam penelitiannya dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for tourism research and development Universitas Gadjah Mada melaporkan child abuse yang terjadi dari tahun 1999-2002 di 7 kota besar di kota besar di Indonesia ditemukan sebanyak 3.969 kasus dengan rincian sexsual abuse 65,8%, physical abuse 19,6%, emotional abuse 6,3%, dan child neglect 8,3%. 


Whitffen dan MacIntosh (dalam Rice, 1999) menemukan bahwa pengalaman kekerasan seksual pada masa anak-anak berhubungan dengan stres emosional pada masa dewasa (adult emotional distress) dan kesulitan menjalin relasi intim pada saat dewasa. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian dengan melakukan analisis dan studi fenomenologi tentang dampak psikologis korban kekerasan seksual. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis tentang bagaimana dan mengapa terjadi kekerasan seksual, melakukan analisis dampak psikologis pada korban kekerasan seksual, dan mengetahui dinamika kepribadian korban kekerasan seksual. 

Kerangka Kerja Teoritik Poerwandari (2000) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakantindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban. 

Sisca & Moningka (2009) mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial karena membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. Angka kasus kekerasan seksual pada anak meningkat setiap tahunnya. Mboiek (1992) dan Stanko (1996) mendefinisikan keke rasan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki- laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya. 

Suhandjati (2004) mengatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis, trauma emosional, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga sosial dan kultural. Bersamaan dengan berbagai penderitaan itu, dapat juga terjadi kerugian harta benda. The nation center on child abuse and neglect 1985, (Tower, 2002) menyebutkan beberapa jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya, yaitu:
  1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. 
  2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga. 
  3. Kekerasan Perspektif Gender 

Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena

gender bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi, stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Teori Feminis Radikal berpandangan bahwa adanya pemisahan ranah publik dan ranah privat yang menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan. Pengertian ranah publik mengandung arti yang lebih tinggi tingkatannya dari ranah privat dan ini merupakan awal sistem patriarki yang menyebabkan perempuan berada pada posisi tertindas (Arivia, 2003). Dampak yang muncul dari kekerasan seksual kemungkinan adalah depresi, fobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. 

Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) menunjukkan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% tidak dapat melupakan.

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, H.I., Sadock, B. J., & Grebb, J.A., 1997). Hikmat (2005) mengatakan PTSD sebagai sebuah kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang. 

Grinage (2003) menyebutkan kriteria diagnosis PTSD meliputi: (1) Kenangan yang mengganggu atau ingatan tentang kejadian pengalaman traumatik yang berulang-ulang, (2) perilaku menghindar, (3) muncul gejala-gejala berlebihan terhadap sesuatu yang mirip saat kejadian traumatik, dan (4) tetap adanya gejala tersebut minimal satu bulan. Selain itu, kriteria diagnostik ditegakkan berdasar kriteria diagnostik gangguan stress akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revisi atau DSM III-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang, kriteria tersebut adalah:
  1. Orang yang telah mengalami, menyaksikan dan dihadapkan pada suatu kejadian traumatik.. 
  2. Merupakan salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan. 
  3. Kejadian traumatik yang secara menetap dialami kembali dalam episode kilas balik yang berulang-ulang. 
  4. Penghindaran pada stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma. 
  5. Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran. 
  6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, yang mengganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan. 
  7. Bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat atau kondisi medis umum (Rose, S, J. Bisson & S. Wessely., 2002). 

PTSD dapat disembuhkan apabila segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat. Apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan tanpa penanganan, maka dapat mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis yang serius yang bersifat permanen yang akhirnya akan mengganggu kehidupan sosial maupun pekerjaan penderita. (Flannery, 1999). Depresi

Beck (1967) mendefinisikan depresi sebagai adanya penurunan mood, kesedihan, pesimisme tentang masa depan, retardasi dan agitasi, sulit berkonsentrasi, menyalahkan diri sendiri, lamban dalam berpikir serta serangkaian tanda vegetatif seperti gangguan dalam nafsu makan maupun gangguan dalam hal tidur. Louis dkk. (1996) mengatakan bahwa depresi berhubungan dengan kognisi yang mengalami distorsi. Leitenberg & Wilson (1986) menyatakan bahwa mereka yang depresi menunjukkan kontrol diri rendah, yaitu evaluasi diri yang negatif, harapan terhadap performance rendah, suka menghukum diri dan sedikit memberikan hadiah terhadap diri sendiri. Sue, et. al (1986) mendefinisikan depresi sebagai suatu keadaan emosi yang mempunyai karakteristik seperti perasaan sedih, perasaan gagal dan tidak berharga, dan menarik diri dari orang lain ataupun lingkungan. Beck (1967) sendiri membuat simtom-simtom depresi menjadi simtom-simtom emosional, kognitif, motivasional dan vegetatif fisik. Secara rinci Beck menjelaskan lebih lanjut, sebagai berikut
  1. Simtom Emosional, merupakan perubahan perasaan atau tingkah laku yang merupakan akibat langsung dari keadaan perasaannya. 
  2. Simtom Kognitif, manifestasi kognitif yang muncul, antara lain adanya penilaian diri yang rendah, harapan-harapan yang negatif, menyalahkan dan mengkritik diri sendiri, tidak dapat memutuskan dan adanya distorsi body image. 
  3. Simtom Motivasional, berkaitan dengan hasrat dan ketergugahan penderita yang cenderung regresif. Istilah regresif dikaitkan dengan aktivitas yang dilakukan, dengan derajat tanggung jawab atau dengan banyaknya energi yang akan digunakan. 
  4. Simtom Gejala Fisik – Vegetatif, perwujudan gejala vegetatif dan fisik benar-benar dipertimbangkan peneliti sebagai bukti untuk melihat gangguan otonom atau hypothalamic yang bertanggung jawab terhadap keadaan depresi. 

Dari penjelasan diatas, penelitian ini mengajukan beberapa pertanyaan penelitian:
  1. Mengapa terjadi kekerasan terhadap korban? 
  2. Bagaimana dampak psikologis korban kekerasan seksual? 
  3. Bagaimana dinamika kepribadian korban kekerasan seksual? 

Metode

Pedekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Penelitian psikologis fenomenologis bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami dalam kehidupan seseorang sehari-hari (Giorgi & Giorgi, 2008). Subyek penelitan memiliki kriteria (a) perempuan yang mengalami kekerasan seksual, (b) usia 10-23 tahun, dan (c) Suku jawa. Informan dalam penelitian ini adalah orang tua dan 2 orang pendamping lapangan LSM yang salah satunya merupakan teman dekat subyek, jumlah informan penelitian 3 orang dipilih berdasarkan kedekatan dengan subyek penelitian. Data dalam penelitian ini juga menggunakan dokumen tertulis dan tidak tertulis untuk memberikan informasi tambahan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan prosedur analisis dan intepretasi data sebagai berikut:
  • Memulai dengan deskripsi tentang pengalama peneliti terhadap fenomena 
  • Membuat pertanyaan dalam interview untuk mengetahui bagaimana subyek mengalami fenomena tersebut, dan mengembangkan daftar pernyataan. 
  • Pernyataan dikelompokkan kedalam unit-unit makna, membuat daftar dari unit-unit tersebut dan menuliskan deskripsi tekstural dari pengalaman. 
  • Membuat refleksi berdasarkan deskripsinya sendiri dengan menggunakan deskripsi struktural. Mencari semua makna yang memungkinkan dan perspektif divergen. Memperkaya kerangka pemahaman dari fenomena, dan membuat deskripsi tentang fenomena tersebut. 
  • Membuat deskripsi keseluruhan dari makna dan esensi dari pengalaman. 
  • Membuat composite textural-structural description dari makna-makna dan esensi pengalaman, lalu mengintegrasikan semua deskripsi struktural individu menjadi deskripsi universal dari pengalaman yang mewakili responden secara keseluruhan (Moustakas, 1994). 

Dampak Psikologis

Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.
  • Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari. 
  • Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri. 
  • Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta menyalahkan diri sendiri. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi tidak sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain. Setelah mengalami kekerasan seksual berbagai macam penilaian terhadap masalah yang dialami subyek bermacam-macam muncul perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal dan bingung hingga rasa tidak berdaya muncul. Subyek berusaha mengevaluasi sumber stress yang muncul (primary apparsial) dengan menilai apakah suatu situasi menimbulkan stress pada dirinya (Folkman, 1986). Dari berbagai penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dampak psikologis kekerasan seksual yang diterima oleh subyek pertama (S1) dan subyek dua (S2) adalah gejala post traumatic stress disorder (PTSD). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah suatu reaksi psikologis yang dapat terjadi sebagai akibat dari suatu pengalaman traumatic yang mengancam hidup atau menghadapi situasi stres yang sangat ekstrim yang pada umumnya ditandai dengan adanya depression, anxiety, flashbacks, recurrent nightmares, and avoidance of reminders of the event. Zuhri (2009) mengatakan bahwa beberapa orang mengalami gejala adanya Post Traumatic Stress Disorder ditunjukan dengan adalah adanya rasa waswas apabila berhadapan dengan situasi/ keadaan yang mirip saat kejadian, merasa ingin menghindari dari situasi/keadaan yang membawa kenangan saat terjadinya, keadaan ini dirasakan lebih dari 2 bulan pasca kejadian. Dalam hal ini subyek berusaha mengatasi keadaan ini dengan banyak sharing dengan orang lain yang dipercayainya tentang kondisinya sehingga membuat kondisi subyek lebih tenang. Selain mengalami stress pasca trauma, subyek juga mengalami depresi akibat dari kejadian yang menekan tersebut. Subyek berpandangan bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi, merasa tidak memiliki masa depan dan menganggap dunia ini kejam. Depresi juga merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan interpersonal (APA, dalam Aditomo & Retnowati, 2004). 

Sikap dan keyakinan negatif yang dialami oleh subyek disebabkan oleh distorsi kognitif, interpretasi negatif terhadap pengalaman yang diterima, evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan harapan negatif akan masa depan. Sumber permasalahan bisa berasal dari masa Perkembangan awal sebagaimana pandangan psikoanalisis (Beck, 2008).

Dinamika Psikologis

Sebelum menghadapi banyaknya masalah yang dihadapi subyek juga dihadapkan dengan berbagai pandangan orang yang mengetahui perihal kejadian yang menimpa subyek. Tekanan-tekanan dari lingkungan luar ini yang membuat subyek harus memutar otak untuk memanipulasi setiap permasalahan yang dimilikinya. Adapun gambaran dinamika psikologis

yang didapat adalah sebagai berikut: Sementara sistem kognisi yang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga maupun lingkungan sosial, akan membuat individu memanipualasi kognisi atas tekanan-tekanan yang dihadapi. Ketika gagal individu akan kembali pada pikiran negatifnya, namun ketika berhasil hal tersebut akan berlanjut pada strategi individu dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahanya. Keadaan seperti

inilah yang kemudian akan membuat individu dengan tekanan-tekanan yang dihadainya menjadi indvidu baru yang lebih siap menghadapi realita kehidupan Semantara kaitannya dengan teori Glasser adalah terjadinya pergulatan antara kognisi dan perasaan yang mana didalam pergulatan tersebut terdapat beberapa kebutuhan seperti yang telah dijelaskan oleh Glasser yang meliputi need to survive atau kebutuhan untuk bertahan hidup, need to love and belonging atau kebutuhan untuk dimiliki, need to gain power atau kebutuhan untuk memperoleh kekuasaan, need to be freedom atau kebutuhan untuk bebas, dan need to have fun atau kebutuhan untuk bersenang-senang. 

Awalnya sebelum mendapatkan dukungan sosial subyek memiliki berbagai pandangan negatif terhadap dirinya. Subyek merasa rendah diri, tidak berharga, merasa kotor dan tidak berdaya lagi. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative belief yang terekam dalam sistem kognisi subyek. Negative belief yang dimiliki oleh subyek tersebut kemudian di repress dalam diri subyek yang kemudian membuat subyek menjadi terkekang dalam keadaan simpatik yang sifatnya kronik/dalam. Keadaan seperti ini kemudian dibekukan oleh kondisi emosioal subyek dan tetap tersimpan dalam diri subyek. Adaya pembekuan negative belief pada diri subyek ini kemudian berpengaruh pada kondisi kesehatan subyek sendiri yang pada akhirnya subyek belum mampu meminimalisir tekanan.

Keadaan berbeda ketika subyek mendapatkan dukungan sosial dari berbagai pihak. Disaat mendapatkan dukungan sosial inilah kemudian subyek berupaya memanipulasi kognisinya dengan melakukan menghindar dan melakukan penyangkalan bahwa yang terjadi tidaklah seburuk apa yang dipikirkan. Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial inilah kemudian membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas segala permasalahan yang dihadapinya. Adanya strategi coping yang telah dimiliki ini, kemudian menjadikan subyek sebagai sosok yang lebih berani dibandingkan sebelum subyek mendapatkan dukungan sosial. Kondisi seperti yang telah dijelaskan di atas sesuai apa yang dikatanakan oleh Aldwin & Revenson (1987) bahwa individu akan melakukan usaha-usaha yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat untuk ikut serta memikirkan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Di lingkungan yang baru subyek kembali menemukan kehidupan dan keceriaannya. Hal ini seperti apa yang dikemukakan oleh Carver, C.S., Scheier, M.F., & Weintraub , J.K., (1989) yaitu subyek berusaha memikirkan bagaimana mengatasi tekanan, memikirkan tindakan yang diambil dan menentukan cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah. Sementara untuk subyek kedua (S2) hanya mengalami 1 periode dinamika psikologis. Untuk meminimalisir tekanan-tekanan psiologis yang menimpanya subyek memiliki beberapa strategi coping, yaitu:
  1. Seeking social support for instrumental reasons, semenjak didatangi oleh LSM subyek merasa mendapatkan dukungan sosial dari LSM yang bergerak dalam pemberdayaan anak dan perempuan yang kurang beruntung. 
  2. Seeking social support for emotional reasons, subyek mengikuti kegiatan konseling yang dilakukan oleh LSM. 
  3. Mental disengagement, subyek berupaya menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan rasa kecewa atas perilaku traumatisnya dengan mengikuti kursus menjahit yang diadakan oleh LSM. 
  4. Turning to religion, subyek mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada yang Maha Kuasa, bahwa sesungguhnya Tuhan sudah menggariskan segala sesuatu yang akan terjadi pada setiap umatnya. 
  5. Positive reinterpretation and growth, subjek berusaha membangun suatu pemikiran yang positif dengan mengambil hikmah atau manfaat dari kejadian menekan yang dialaminya. 
  6. Seek social support for emotional reasons, subyek mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya, sehingga ia dapat menjadi tentram dengan adanya dukungan sosial. 

Kesimpulan

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dalam penelitian ini adalah: (a) Faktor kelalaian orang tua. (b) Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. dan (c) Faktor ekomoni.Dampak psikologis yang dihadapi oleh kedua subyek berbeda, hal ini disebabkan karena masing-masing subyek memiliki kepribadian, cara mengatasi masalah, cara memanipulasi kognisi, serta dukungan sosial yang berbeda. Meskipun dampaknya berbeda, namun secara umun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku traumatis pada korban kekerasan seksual. 

Perilaku traumatis tersebut adalah stress pasca trauma (PTSD), dengan ditandai adanya penilaian diri yang rendah, pengabaian terhadap diri sendiri, adanya perubahan mood dan perilaku, adanya kenangan-kenangan yang mengganggu serta ganguan tidur. Adapun dinamika psikologis subyek sebelum men dapatkan dukungan sosial subyek memiliki berbagai pan dangan negatif terhadap dirinya. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative belief yang terekam dalam sistem kognisi subyek. Negative belief yang dimiliki oleh subyek selanjutnya di repress dalam diri subyek yang kemudian membuat subyek menjadi terkekang dalam keadaan simpatik yang sifatnya kronik/dalam. Keadaan seperti ini kemudian dibekukan oleh kondisi emosioal subyek dan tetap tersimpan dalam diri subyek.

Adaya pembekuan negative belief pada diri subyek ini kemudian berpengaruh pada kondisi psikis dan psikologis subyek. Keadaan berbeda ketika subyek mendapatkan dukungan sosial. Disaat mendapatkan dukungan sosial subyek berupaya memanipulasi kognisinya dengan melakukan penyangkalan bahwa yang terjadi tidaklah seburuk apa yang dipikirkan. Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial inilah kemudian membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas segala permasalahan yang dihadapinya. Untuk meminimalisir tekanan-tekanan psiologis yang menimpanya subyek memiliki beberapa strategi coping, yaitu: (a) mencari dukungan sosial dari LSM (b) mengikuti kegiatan konseling, (c) menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan rasa kecewa atas perilaku traumatis, (d) mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada yang Maha Kuasa, (e) berusaha membangun suatu pemikiran yang positif (f) mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya.

Saran

Kekerasan dalam jenis dan bentuk apapun, tidak dapat ditoleransi dengan alasan apapun. Bagi subyek penelitian diharapkan untuk berhati-hati dalam memilih teman dalam pergaulan, jangan cepat percaya dan terlena oleh bujuk rayu serta iming-iming yang dijanjikan oleh orang lain baik yang sudah dikenal maupun belum. Hal terbaik yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman kepada diri sendiri tentang bagian tubuh mana dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap bagian tubuhnya. 

Penanaman agama serta pemahaman ajaran agama yang mendalam juga bisa menjadi benteng untuk menghindari tindakan serta pergaulan bebas. Apabila memang sudah melakukan antisipasi namun masih mengalami kekerasan, lawanlah dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini akan membuat beban psikologis menjadi sedikit ringan dan mengurangi adanya penyesalan serta menumbuhkan rasa percaya diri apabia dibandingkan tanpa perlawanan. Perhatian orang tua serta dukungan terhadap anak juga merupakan faktor terpenting dalam proses meminimalisir terhadap kejadian-kejadian traumatis yang menimpa anak. Penelitian ini menununjukkan bahwa dukungan sosial mampu meringankan beban berat yeng diterima oleh anak ketika menghadapi situasi-situasi sulit, oleh sebab itu hendaknya orang tua tidak serta merta menyalahkan anak akibat dari tekanan-tekanan yang melanda. Bagi peneliti yang akan mendatang diharapkan dapat memperluas jangkauan sudut pandang penelitian, baik dari segi etnografi maupun biopsikososiospiritual.

Sekian artikel Ilmu Psikologi tentang Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Studi Fenomenologi.

Daftar Pustaka
  1. Alsa, A. (2003), Pendekatan kuantitatif & kualitatif serta kombinasinya dalam penelitian psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  2. Alwasilah, C. (2003), Dasar-dasar merancang dan melakukan penelitian kualitatif, Jakarta: Pustaka Jaya
  3. Creswell, W.J. (1994), Research design: qualitative & quantitative approaches, California: Sage Publications, Inc.
  4. Fuadi, A.M. (2008). Dinamika kekerasan psikologi seksual. Sebuah studi fenomenologi. 2011. 191-208. Jurnal Psikologi Islam
  5. Moleong, J.L. (2004), Metodologi penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya
  6. Parker, I. (2005), Qualitative psychology: introducing radical research, UK: Open University Press
  7. Poerwandari, K. (2009), Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia, Depok: LPSP3, Fakultas Psikolgi UI
  8. Sugiyono (2008), Memahami penelitian kualitatif, Bandung: Alfabeta

The Experience of Posttraumatic Growth for People With Spinal Cord Injury

$
0
0
The Experience of Posttraumatic Growth for People With Spinal Cord Injury - The purpose of this qualitative study was to explore the characteristics of posttraumatic growth for people with spinal cord injury. In this study, we intentionally selected people exhibiting evidence of posttraumatic growth to capture distinctive characteristics of the phenomenon. A thematic analysis was used to examine the narratives of life experiences before and after spinal cord injury. The three most salient themes of posttraumatic growth were identified: experience of meaningful family relationships, experience of meaningful engagement, and appreciation of life. Further investigation into the experience of posttraumatic growth is necessary in the future for a better understanding of the phenomena.

The Experience of Posttraumatic Growth for People With Spinal Cord Injury_
image source: www.unk.com

Keywords: grounded theory; illness and disease; life-threatening; interviews; relationships; spinal cord injury.

Sanghee Chun
Brock University, St. Catharines, Ontario, Canada
Youngkhill Lee
Indiana University, Bloomington, Indiana, USA

Introduction
Spinal cord injury (SCI) is a leading cause of long-term severe physical disability, with approximately 250,000 adults suffering from SCI in the United States (National Spinal Cord Injury Statistical Center, 2006). People with SCI are more likely to experience functional limitations that restrict and decrease their ability to perform daily activities (Nagi, 1991). Moreover, as a result of various life challenges and changes, they tend to experience a high level of psychological distress (e.g., D. S. Calhoun & Atkeson, 1991; Noreen, 2005). Specifically, people facing traumatic events often experience anxiety, depression, fear (D. S. Calhoun & Atkeson, 1991; Moreno, 2007), and the development of posttraumatic stress disorder (Falsetti & Resick, 1995). In addition, SCI negatively affects construction of one’s biography on everyday life (Bury, 1982, 1991). 

Once life stories are disrupted following negative life events, people tend to lose control over their lives (Lazarus, 1999) and are disturbed by the personal patterns, relationships, and even identities of those involved (Kleiber, 1999). Moreover, they are at general risk for social isolation, a sense of difference from peers, poorer educational outcomes, lower employment, and less engagement in physical activities than that of the general population without disabilities (e.g., Murray & Harrison, 2004; Turner & Turner, 2004). 

Despite the considerable evidence that individuals experience negative stressors (e.g., distress, social isolation, stigma, loss of job) as a result of SCI, a growing body of literature provides compelling evidence of positive life changes in the midst of their traumatic experiences. This phenomenon is conceptualized as posttraumatic growth (PTG), referring to “the perception of benefits and the experience of personal growth as a result of struggling to cope with traumatic events” (L. G. Calhoun & Tedeschi, 1999, p. 5). The experience of growth following trauma has been identified in individuals with various types of chronic and life-threatening illnesses, such as cancer (Bellizzi & Blank, 2006; Widows, Jacobsen, Booth-Jones, & Fields, 2005), HIV/AIDS (Milam, 2004), heart disease (Sheikh, 2004), and visual impairment (Salick & Auerbach, 2006).

Review of Relevant Literature
Experience of Chronic Illness and Disability Traditionally, the health-related research on trauma has extensively reported the negative consequences—especially the experience of disrupted life story, or biography—following traumatic illness or events. Bury (1982) conceptualized chronic illness as involving “the disrupted structure of everyday life and the forms of knowledge,” as well as “a recognition of the worlds of pain and suffering” (p. 169). As a result of those experiences, people with chronic illness may lose their senses of identity, experience disrupted social relationships, and struggle with uncertainty of their future (Bury, 1991). 

In addition, individuals with chronic illness have to deal with feelings of unworthiness and the belief that one is not loved or cared about (Lazarus, 1999). Moreover, they may experience death-related thoughts because the illness can be considered psychological death (Bury, 1982; Livneh & Antonak, 1998). To fight against the symptoms of illness, people have to learn how to cope with the negative effects of illness and how to renegotiate “identity which includes biography-altering facts, altered relationships, a changed vision of the future, and a changed sense of self” (Green, Todd, & Pevalin, 2007, p. 525).

Posttraumatic Growth
In spite of the negative consequences associated with illness and disability, people with chronic illness often try to find meaning and purpose (Tedeschi & Calhoun, 1995), which has led positive psychologists to explore positive sides of traumas (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Although PTG has been studied using various terms—such as benefit finding Affleck & Tennen, 1996), stress-related growth (Park, Cohen, & Murch, 1996), and thriving (Parry & Chesler, 2005)—many researchers tend to use the term posttraumatic growth as the most appropriate expression to define the positive life changes following traumatic events (e.g., Bellizzi & Blank, 2006; Tedeschi, Park, & Calhoun, 1999). 

Tedeschi et al. (1999) argued that PTG occurs as a result of coping with trauma. Although people may experience growth and perceive benefits resulting from a traumatic experience, these positive experiences do not preclude the experience of distress, negative consequences, and vulnerabilities resulting from the experience overall. L. G. Calhoun and Tedeschi (2001) stated that the experience of personal growth might, paradoxically, coexist with significant psychological distress and an increased experience of being vulnerable to negative life events. PTG themes. Empirical studies have revealed several categories of growth outcomes reflecting psychological, interpersonal, and life orientation changes (e.g., Tedeschi & Calhoun, 1995; Turner & Cox, 2004; Woodward & Joseph, 2003), such as the strengthening of relationships with family and friends, the perception of positive personal change (e.g., the development of greater patience tolerance, empathy, and courage), the valued changes in life’s priorities and personal goals, the deepening of spiritual beliefs, and the appreciation for life (O’Leary & Ickovics, 1995; Park et al., 1996). 

Woodward and Joseph (2003) examined PTG using 29 people who had experienced childhood abuse. Related to positive change processes, the respondents’ narratives identified the three domains: “inner drive, vehicles of change, and psychological changes” (p. 273). The researchers emphasized that it is important to explore not only psychological factors but also social contexts for better understanding of the PTG. Similarly, using qualitative method, Turner and Cox (2004) explored the recovery experiences of 13 people who had been in a rehabilitation program. The authors found that following unexpected accidents, the respondents had strengthened their willpower and developed new perspectives on life and living. In addition, Tedeschi and Calhoun (1996) developed a PTG inventory including five domains of outcomes: appreciation of life, relating to others, personal strength, new possibilities, and spiritual change. 

Since the PTG inventory was introduced, numerous empirical studies have supported Tedeschi and Calhoun’s conceptual framework by documenting positive changes in various life domains, including richer and closer social relationships with family and friends, new priorities, and a greater overall appreciation for life (e.g., Antoni et al., 2001). PTG and coping. The concept of coping has been a central issue in the stress and trauma literature (Lazarus & Folkman, 1984). Coping is typically discussed as a method of alleviating and preventing negative change (Sheikh, 2004). However, only a few studies have identified coping strategies related to PTG. Park et al. (1996) argued that the most relevant coping strategies on stress-related growth include positive reinterpretation and acceptance coping, whereas avoidant coping and the use of escapism are negatively related to the experience of PTG (Aldwin, 1994). 

The researchers stated that coping processes such as personal resources, appraisals, and coping activities and cognitive processing were also related to positive growth. In addition, Collins, Tayor, and Skokan (1990) found that coping efforts involving cognitive reinterpretation of the event and positive behavioral change are related to a greater amount of positive change in beliefs. The findings illustrate that positive thinking and rumination about the traumatic event are significantly related to the amount of psychological growth (L. G. Calhoun & Tedeschi, 2001). 


However, Grubaugh (2003) stated that active coping efforts, such as thinking about the event and trying to make sense of the event, should not be confused with rumination about the event, because these two different efforts facilitate opposite outcomes. The author explained that through making an effort to make sense of traumatic events, people are more likely to experience PTG. In contrast, through ruminating about the event in a self-punitive or circular manner, individuals tend to increase adverse psychological symptoms. These findings explain that PTG tends to emerge in the process of active integration of a traumatic event into one’s cognitive framework.

Purpose of the Study
An extensive number of previous studies on trauma and recovery have applied several qualitative methods to conceptualize the phenomena and have proposed numerous models of coping and recovery (e.g., Frankl, 1985; Taylor, 1983). However, ever since Tedeschi and Calhoun (1996) introduced a PTG inventory, an extensive number of quantitative studies have used it and have reported categories of PTG outcomes reflecting psychological, interpersonal, and life orientation changes (e.g., Bellizzi & Blank, 2006; Widows et al., 2005).

Although a valid and reliable PTG inventory has contributed to the advancement of PTG research by providing significant insights, some researchers have criticized it. Smith and Cook (2004), for example, argued that “current methods of measurement may actually underestimate PTG to a small but significant degree, particularly in the areas of Personal Strength and Relating to Others” (p. 356). Also, the scale may capture overlapping types of PTG, which creates difficulty in defining and measuring people’s actual PTG experience (Smith & Cook, 2004). In addition, Pals and McAdams (2004) noted that the PTG inventory captures culturally sanctioned outsiders’ views rather than adequately explaining the insider voice of the individuals. 

The researchers emphasized that it is critical to employ qualitative methods for better understanding of PTG because such methods can effectively explain how people positively transform their traumatic experience and so integrate “the transformed sense of self” (p. 65) into their own life stories. In addition, Maslow (1987) argued that the characteristics of positive phenomena, such as self-actualization and growth, can be better understood by using healthy people who actually demonstrate such positive characteristics. 

Because PTG research has tended to use convenience samples of individuals who have experienced traumatic events and illnesses without checking whether they have demonstrated positive characteristics, a need exists to purposefully select people demonstrating the evidence of PTG. The purpose of this qualitative study was to explore the characteristics of PTG for people with SCI. In this study, we intentionally selected people exhibiting evidence of PTG to capture distinctive characteristics of the phenomenon, and employed a qualitative grounded-theory method for an in-depth understanding of insiders’ views.

Method

Sampling Strategy

The present study used purposeful criterion-based sampling strategies (Strauss & Corbin, 1998). After the interviewer (the first author) explained the study’s purpose and the criteria for selecting participants, two recreation therapists working at different rehabilitation centers in a metropolitan city in the Midwest identified 71 potential participants who were former and current patients of the centers. The criteria for selecting participants required individuals who had SCI, demonstrated clear external evidence of achievements (e.g., holding full-time jobs, demonstrating athletic achievement, providing consistent voluntary public service), reported satisfaction in their lives, had the appropriate cognitive ability to describe their life stories, and were at least 18 years of age. Individuals receiving psychiatric treatment and medication were excluded from this study, given that these factors could prevent people from explaining their lives accurately (King et al., 2003; Maslow, 1987). Research information packets were mailed to potential participants as invitations to the research interview.

Participants
Among 71 potential participants with SCI, a total of 15 individuals volunteered to participate in the study, including 13 people who met the initial criteria and 2 who did not demonstrate the positive evidence of PTG (i.e., negative cases). Among the 15 participants, 2 participants were recruited through snowball sampling; 10 were male and 5 were female; they ranged in age from 27 to 58; and their average length of time since injury was 10.7 years. The majority of the participants were White individuals with paraplegia who had some college experience. Nine participants were living alone at the time of the study, although two had lived with spouses. Six people were married and had children. Cause of injury included car accidents, gunshot, falls, and work accidents. Eight individuals reported that they held jobs: Six had full-time jobs in administration, management, customer service, and teaching, and two had part-time jobs in counseling and teaching. Among the five who were unemployed, three were regularly involved in community volunteer work, whereas the two who were considered negative cases neither worked nor engaged in any social activities. Two participants reported that they were students at the time of the interview.

Interview Procedures
In-depth interviewing was used to explore the characteristics of PTG, with interviews taking place at participants’ homes. With the participant’s permission, each interview was audiotaped using a regular cassette recorder and an MP3 player. Each interview lasted 1 to 4 hr. At the beginning of each interview, the interviewer introduced herself to build trust and then answered the participant’s questions related to research and personal qualifications. To help interviewees confidently explain significant activities, people, events, and time, this study employed a grand-tour and mini-tour question method developed by Spradley (1979). 

The following grand-tour questions were used to encourage participants to share their life experiences: “Could you tell me your life story before experiencing the injury?” and “Could you describe your life experience after the injury?” The length of time to answer the grand-tour questions varied. Good storytellers spent about an hour or more explaining their life stories before and after the accidents, but others replied briefly, even though the interviewer encouraged them to explain their lives as descriptively as possible. The interviewer then asked mini-tour questions to explore the narratives of participants’ life experiences. 

For example, the interviewer asked, “What has helped you most in dealing with SCI?” and “Could you explain any turning point in your life after your accident?” In addition, participants were encouraged to provide examples of significant events or experiences. At the end of the interview, the participants completed a demographic survey asking gender, age, educational background, employment, and length of injury. The final question requested indentifying possible participants who had experience relevant to the study. Immediately following each interview, the interviewer wrote field notes recording personal insights and participants’ observed emotional changes, behaviors, communication skills, and environmental conditions (Strauss & Corbin, 1998). To clarify interviewees’ comments and to correct errors in transcription, the interviewer used follow-up phone calls and e-mail to the five participants who were willing to be involved in the member-checking process. The participants who demonstrated distinctive characteristics of PTG and provided rich descriptions of their lives were contacted before the participants who showed less distinctive characteristics of PTG.

Data Analysis
A thematic analysis based on a grounded theory methodology was used to explore insiders’ views of the phenomenon. Thematic analysis enables researchers to “increase their accuracy or sensitivity in understanding and interpreting observations and interviews about people, events, and situations” (Boyatzis, 1998, p. 5). The five steps of data analysis were developed and used on the basis of guidelines by Boyatzis (1998) and Strauss and Corbin (1998). First, interviews were transcribed by a professional transcriber. After completing the first draft of the transcript, the researcher (the first author) reviewed it while listening to each tape to verify the transcription’s accuracy (Atkinson, 1998). Second, the quantity of raw data was reduced through developing the open coding scheme of each transcription. 

Through line-by-line data analysis, the broad categories of life experiences (including rich quotes from the data) were generated within each subject. Third, the open coding scheme of each participant was compared across participants to determine similar patterns. Fourth, an axial coding scheme was created, and it included all the emergent themes and quotes from the data. The researcher reviewed each coding scheme category to substantiate the relevance and relatedness of the coding. In addition, she carefully reviewed the original transcripts to verify that each coding scheme included all the quotes related to emergent themes (Boyatzis, 1998). Fifth, by using a selective coding strategy, a master coding scheme was created. The researcher analyzed the emergent themes and identified core themes and subthemes, including rich quotes and narrative descriptions.Strauss and Corbin (1998) emphasized that the process of selective coding is critical to the creation of system-atic and solidified master coding data.

Perencanaan Alat Ukur Prestasi Dalam Psikologi Menurut Ahli

$
0
0
Perencanaan Alat Ukur Prestasi Dalam Psikologi Menurut Ahli - Artikel ini melatih untuk membuat alat ukur psikologi yang memenuhi persyaratan sebagai alat ukur yang baik dan benar. Melalui artikel ini diharapkan mampu membuat alat ukur psikologi menggunakan metode dan tahapan yang benar.

Perencanaan Alat Ukur Prestasi Dalam Psikologi Menurut Ahli_
image source: jsmith.wiki.educ.msu.edu
baca juga: Spesifikasi Tes dan Konstruksi Alat Ukur Tes Psikologi

Isi

a. Tahapan

Secara umum tahapan perencanaan alat ukur prestasi dapat dilihat dalam bagan berikut:


b. Evaluasi konstruk

Hal pertama yang harus dilakukan pada saat akan melakukan penyusunan instrumen psikologi adalah menentukan konstruk psikologi yang akan diteliti. Konstruk yang dapat dibuat alat ukur psikologi berupa tes prestasi atau tes performa maksimal adalah konstruk yang tidak bersifat bawaan. Contoh konstruk yang bersifat bawaan adalah pola asuh.

Jika konstruk memiliki potensi untuk dilatih dan dikembangkan maka konstruk dapat dibuat alat ukur tes prestasi.

i. apakah konstruk memiliki aspek potensi

Alat ukur performa maksimal umumnya mencoba memahami besarnya potesi yang dimiliki oleh individu dalam dirinya sehingga hanya konstruk yang memiliki aspek potensi yang dapat dibuat instrmen pengukurannnya.

Misal: kecerdasan/ intelegensi

ii. apakah potensi dapat diungkap

Pertanyaan berikutnya adalah apakah potensi dapat diungkap menggunakan alat ukur psikologi yang akan disusun. Dalam hal ini, penyusunan alat ukur psikologi akan mengedepankan penggunaan kertas. Jika demikian, mungkinkah instrumen yang akan dibuat mampu mengungkap potensi kemampuan komunikasi publik (misal)

iii. bentuk respon yang dapat mengungkap konstruk

Pada penggunaan alat ukur yang menggunakan isian kertas, maka perlu dikaji apakah respon dalam bentuk mengisi skala/ angkat dapat mengungkap konstruk yang dimaksud.

Jika salah konstruk yang dimaksud adalah bakat menari, misalnya, mungkinkah hal in dapat diungkat menggunakan instrumen yang mengedepankan penggunaan kertas.

c. Karakter responden

Hal berikutnya yang perlu mendapat perhatian pada saat penyusunan instrumen pengukuran psikologi adalah karakter individu yang akan dijadikan responden pengukuran aspek psikologisnya. Beberapa yang perlu mendapat perhatian adalah: usia, pemdidikan, kemampuan membaca, pengetahuan, budaya, abnormalitas, dan kebiasaan.

i. Usia

Responden pada usia tertentu akan memiliki cara merespon yang akan disesuaikan dengan kondisi usiannya. Lansia, misalnya, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengingat sehingga respon yang diberikan tidak otomatis menjustifikasi kelemahan diri mereka.

ii. Pendidikan

Indidivu yang memiliki pendidikan tinggi (kuliah) dengan individu yang sebatas pendidikan dasar dan menengah akan memiliki pola reaksi yang berbeda terhadap situasi. Kalaupun mereka memiliki potensi yang sama maka sebaiknya instrumen yang disusun dapat disesuaikan dengan kondisi pendidikan sehingga tidak menjadi bias dalam pengukuran.

iii. kemampuan membaca

Ketrampilan membaca merupakan salah satu aspek yang penting dikaji sebelum dikembangkan instrumen alat ukurnya. Jika responden tidak terampil membaca, mungkinkah untuk dibacakan ataukah dapat digunakan pertanyaan yang hanya menggunakan gambar.

iv. Pengetahuan

Pada pengukuran intelegensi, misalnya, pengetahuan perlu menjadi penting yang disesuaikan karena jika pengetahuan menjadi instrumen pengukuran intelegensi maka bias hasil pengukuran hanya karena seseorang lebih sering membaca menjadi lebih tinggi. Hal sama dapat terjadi pada pengukuran aspek psikologis lain yang berhubungan dengan pengetahuan.

v. budaya dan tempat tinggal

Keragaman budaya dan lokasi tempat tinggal dapat memberi kemampuan responden yang beragam dalam merespon aitem yang ada sehingga instrumen yang dibuat harus cukup sensitif terhadap aspek ini sehingga bias pengukuran karena aspek budaya dapat diminimalisir sehingga instrumen pengukuran akan semakin valid dan reliabel.

vi. Abnormalitas

Dalam instrumeun pengukuran psikologi yang baik, instrumen harus bisa melihat bagaimana abnormalitas pada individu tidak mencegah individu dapat mengungkapkan potensinya dengan optimal dan sebaik mungkin. Potensi tersebut sangat mungkin tetap ada walaupun individu memiliki abnormalitas atau ketidaksesuaian diri dengan kondisi umum individu lainnya.

Beberapa abnormalitas yang dapat menjadi pertimbangan antara lain:

- Buta warna
Pada abnormalitas buta warna, individu masih dapat berkembang dan beraktivitas secara normal sehingga perlu diwaspadai sejak awal. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meniadakan variasi warna yang terlalu banyak pada aitem sehingga individu yang mengalami buta warna tetap dapat merespon dengan baik aitem yang ada.

Terutama pada aitem yang memancing respon melalui gambar, maka penggunaan warna harus diminimalisir karena individu dapat mengalami kesalahan peresponan.

- Diskalkulia
Merupakan gangguan berhitung pada individu. Kelainan ini umumnya terjadi karena masalah fisiologis. Namun secara umum individu yang mengalami diskalkulia tidak memiliki masalah yang cukup berat dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian penyusunan instrumen perlu memperhatikan hal ini.

Misalnya dengan tidak memberikan aitem dalam bentuk angka karena individu yang mengalami diskalkulia akan sangat sulit merespon aitem tersebut sehingga potensi yang dimilikinya tidak dapat terukur dengan baik.

- Disleksia
Sebagaimana diskalkulia, disleksia juga kelainan yang dialami individu karena adanya masalah fisiologis pada otak. Disleksia adalah gangguan kesulitan membaca. Oleh karenanya, intrumen pengukuran psikologi apabila akan diberikan pada individu yang kemungkinan sebagian diantaranya mengalami disleksia maka harus memperhatikan bentuk dan jenis aitem.

Aitem yang dikembangkan dalam instrumen ini harus meminimalisir penggunaan huruf dan kata karena individu yang mengalami disleksia akan sulit merespon aitem tersebut. Aitem yang banyak menggunakan gambar dan angka mungkin lebih baik pada individu ini.

vii. Kebiasaan

Selain masalah-masalah di atas yang harus diperhatikan dalam penyusunan instrumen pengukuran psikologi masalah lain adalah masalah kebiasaan. Beberapa kebiasaan mungkin mempengaruhi penyusunan alat ukur psikologi. Misalnya kebiasaan membaca dari kanan atau dari kiri, dsb.

d. panjang alat ukur

Panjang alat ukur umumnya terkait dengan konsep jumlah aitem yang akan diberikan dalam sebuah instrumen pengukuran psikologi. Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah tujuan dari penyusunan instrumen. Instrumen yang dibuat untuk keperluan riset maka sebaiknya diminimalisir kecuali riset tersebut memang memiliki tujuan untuk melihat efek dari panjang alat ukur.

Sebaliknya, instrumen yang dibuat untuk keperluan seleksi, misalnya, dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis seleksi. Apakah kebutuhannya mengharuskan seleksi dalam waktu singkat, waktu lama, apakah untuk melihat ketahanan, dsb. walaupun secara umum alat ukur psikologi yang dibuat harus seefektif dan efisien mungkin.

Berikut beberapa pertimbangkan terkait dengan panjang alat ukur:

i. waktu dapat mencukupi

Pada banyak instrumen umumnya menyediakan waktu yang lebih banyak atau disesuikan dengan kebutuhan responden sehingga dapat merespon semua aitem yang diberikan.

Contoh: EPPS.

ii. waktu disediakan lebih sedikit

Pada instrumen ini waktu yang disediakan memang lebih sedikit karena faktor penggunaan waktu menjadi salah satu aspek penilaian.

Contoh: IST atau sebagian besar tes Intelegensi menggunakan model ini .

iii. kekuatan mencukupi/ normal

Jika pada bagian sebelumnya adalah masalah waktu, pada bagian ini hal yang ditekankan adalah masalah kekuatan psikis dalam merespon. Kekuatan psikis dapat mempertimbangkan aspek usia sehingga respon dapat disesuaikan.

Contoh: tes kompetensi moral

iv. daya tahan harus dipaksakan

Pada tes tertentu daya tahan harus dipaksakan dalam kondisi yang diciptakan sehingga responden akan memaksimalkan daya tahannya.

Contoh: Tes Pauli

e. Penilaian

Bagaimana responden akan dinilai merupakan hal lain yang perlu diperhatikan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan penilaian respon dari responden.

i. diperbolehkan salah atau tidak ada jawaban salah

Beberapa instrumen pengukuran psikologi menilai respon sesuai dengan karakter pribadi sehingga jawaban apapun akan dianggap benar selama sesuai dengan karakter pribadi orang itu. Namun pada kondisi tertentu, dapat dibuat aitem yang berfungsi untuk melihat konsistensi atau kejujuran responden terhadap aitem yang dibuat.

Semua jawaban dianggap benar bukan berarti tidak dapat mengungkap potensi yang dimiliki. Pada beberapa tes, misalnya tes kompetensi moral (MJT atau DIT) juga menunjukkan pada kemampuan potensial walaupun semua jawaban benar walaupun skor dari tiap jawaban berbeda.

ii. tidak diperbolehkan salah

Ini merupakan klasifikasi yang paling umum dalam instrumen pengukuran psikologi yang bersifat kognitif. Jawaban diklasifikasikan benar dan salah sehingga yang diberikan nilai hanya pada jawaban yang benar.

iii. Waktu

Berdasarkan kebutuhan instrumen maka dapat dilakukan penyesuaian waktu pengisian instumen sehingga penggunaan waktu dalam aspek ini dapat diberikan nilai berdasarkan kecepatan atau berdasarkan pemanfaatan waktu yang ada.

f. Aspek yang dinilai

Hasil akhir dari instrumen pengukuran psikologi adalah penilaian terhadap respon. Respon yang dinilai dapat diambil dari aspek berikut ini:

i. perilaku

Aitem dapat meminta responden untuk melakukan tindakan tertentu yang kemudian menjadi faktor yang dinilai. Perilaku tertentu akan dinilai tinggi sedangkan perilaku lain akan dinilai sebaliknya.

ii. Jawaban

Jawaban yang dinilai dapat berupa jawaban lisan atau jawaban dalam bentuk tulisan. Setiap jawaban mengandung aspek yang dapat dinilai berdasarkan konsep yang sudah direncanakan dari awal pembuatan instrumen.

iii. Tulisan

Tulisan yang dinilai dapat berupa garis atau gambar yang dihasilkan dari instrumen pengukuran psikologi.

Beberapa instrumen yang melakukan hal ini misalnya: Wartegg

iv. panjang cerita

Penilaian juga bisa dilakukan berdasarkan panjang cerita dengan asumsi bahwa cerita yang lebih panjang dapat menunjukkan penilaian yang berbeda.

v. kelengkapan cerita

Penilaian dalam aspek kelengkapan cerita bisa berupa cerita yang terpenggal atau cerita yang terlihat dalam gambar visual.

vi. bentuk interaksi

Bentuk penilaian lain yang dimungkinkan adalah bentuk interaksi apabila penilaian yang dimaksud terkait dengan aspek yang membutuhkan interaksi yang hanya bisa dipahami melalui observasi.

Sekian artikel tentang Perencanaan Alat Ukur Prestasi Dalam Psikologi Menurut Ahli.

Penulisan, Skoring, dan Penilaian Alat Ukur Psikologi

$
0
0
Penulisan, Skoring, dan Penilaian Alat Ukur Psikologi - Artikel ini membahas tentang penulisan, skoring, dan penilaian alat ukur psikologi yang berguna melatih untuk membuat alat ukur psikologi yang memenuhi persyartan sebagai alat ukur yang baik dan benar. Melalui artikel ini diharapkan mampu membuat alat ukur psikologi menggunakan metode dan tahapan yang benar.

Konsep Dasar

Berikut konsep dasar terkait dengan penulisan aitem, scoring, dan penilaian:

  1. Instruksi jelas
  2. Pertanyaan/ pernyataan jelas
  3. Tidak ada unsur ‘penipuan’
  4. Skor disesuaikan dengan kesukaran soal
  5. Kejelasan rumus penilaian
  6. Kejelasan aspek yang dinilai


Penulisan, Skoring, dan Penilaian Alat Ukur Psikologi_
image source: www.handmadecharlotte.com
baca juga: Perencanaan Alat Ukur Prestasi Dalam Psikologi Menurut Ahli

Instruksi Jelas

Instruksi merupakan wajah dari instrumen pengukuran psikologi yang akan dikembangkan. Instruksi yang baik akan menghasilkan pengukuran psikologi yang juga baik dan mampu mencegah kesalahan respon dari responden karena kurang baiknya instruksi yang disampaikan. Instruksi juga merupakan bagian penting dalam melihat validitas wajah (face validity) dari instrumen psikologi.

Beberapa aspek instruksi yang harus jelas adalah, apakah instruksi akan dibacakan, apakah instruksi cukup dengan membaca, dsb. Beberapa aspek dalam instruksi terkait dengan respon yang diharapkan antara lain.

  • Melingkari
  • Menyilang
  • membuat garis,
  • dsb


Dalam instruksi juga perlu disampaikan hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh responden pada saat menjalankan proses pengukuran psikologis dengan merspon instrumen pengukuran psikologi yang sudah dibuat. Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh responden pada saat pelaksanaan tes antara lain:

  • Pensil,
  • Kalkulator
  • Kertas,
  • dsb.


Instruksi juga perlu menjelaskan aturan yang terkait dengan pelaksanaan proses pengukuran aspek psikologis pada individu. Beberapa aturan yang mungkin ada dalam pelaksanaan tes antara lain:

  • Menunggu instruksi,
  • menunggu waktu,
  • menunggu tanda,
  • dsb


Pertanyaan Jelas

Salah satu faktor utama dalam penyusunan alat ukur psikologis adalah pertanyaan atau aitem pernyataan yang jelas. Sehingga aspek yang akan diukur benar-benar dapat diukur menggunakan aitem yang ada.

Beberapa panduan dalam pembuatan pertanyaan atau aitem adalah sebagai berikut:

- Tidak menimbulkan makna ganda
Setiap aitem yang disampaikan dalam instrumen pengukuran psikologis tidak boleh menimbulkan makna ganda dimana setiap orang dapat memberi pemaknaan yang berbeda sehingga menimbulkan respon yang juga berbeda pada tiap individu.

Contoh:
“Pada saat akhir minggu saya sering nonton”
Kalimat ini bisa bermakna ganda pada kata “akhir minggu” sehingga responnya bisa berbeda pada orang yang mempersepsikan akhir minggu dengan “Jumat” atau “Sabtu” atau “minggu”.

- Tidak mengarah pada dua jawaban atau lebih
Aitem tidak mengarah pada dua jawaban atau lebih sehingga kita dapat menentukan jawaban yang tepat dan tidak tepat.

Contoh:
“Siang merupakan saat bekerja”
Pada aitem ini mungkin akan berbeda responnya pada orang yang bekerja pada malam hari atau yang harus bekerja pada siang hari.

- Tidak double negatif/ pengulangan kata
Sebisa mungkin tidak mengulang kata yang sama pada kalimat aitem atau dalam satu kalimat tidak ada kata yang muncul dua kali. Terutama pada kata negatif “tidak” sehingga terdapat kalimat yang bersifat double negatif.

Contoh:
“Pagi hari tidak baik jika tidak sarapan”
Pada contoh di atas terdapat pengulangan kata “tidak” sehingga respon dari responden akan semakin rancu.

- Pertanyaan singkat
Membuat pertanyaan atau aitem sesingkat namun seefektif mungkin.

- Meminta jawaban bukan pendapat
Untuk dapat diberikan nilai maka respon yang diberikan harus sederhana dan jelas sehingga pertanyaan atau pernyataan yang diberikan dan bukan meminta pendapat.

Contoh:
“Bagaimana kesan terhadap film”
Dalam contoh di atas maka respon dari responden akan sangat sulit untuk diberikan skor.

Tidak ada unsur ‘Penipuan’

Konsep penipuan dalam hal ini adalah instruksi atau pertanyaan dalam tiap aitem tidak menyulitkan responden dalam menentukan respon yang harus dilakukan terkait dengan hal-hal yang harus dilakukan. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:

- Instruksi tidak mengandung teka-teki
Instruksi harus jelas dan lugas sehingga responden dapat langsung memahami hal-hal yang harus dilakukan.

Contoh instruksi yang mengandung unsur 'penipuan':
“Pada saat anda menemukan pertanyaan yang berisi konsep ukuran tapi bukan untuk mengukur maka pertanyaan tersebut harus diabaikan.”

- Pertanyaan tegas dan singkat
Semakin panjang dan bertele-tele pertanyaan atau pernyataan maka akan semakin banyak unsur 'penipuan' terhadap konsep atau maksud dari aitem.

Contoh:
Semakin baik seseorang kepada orang lain maka akan semakin orang itu disukai oleh orang lain tanpa adanya paksaan. Maka jika kita ingin menjadi orang yang disukai kita harus berlaku....

a. cepat b. baik c. cerdas d. hebat

Skor disesuaikan dengan kesukaran

Dalam penyusunan instrumen pengukuran psikologi juga perlu menentukan bagaimana penilaian terhadap tiap aitem. Penentuan nilai dapat dilakukan sejak awal, yaitu pada saat pembuatan aitem atau penentuan skor ditentukan setelah mendapatkan data dari hasil pengisian oleh responden.

- Penentuan taraf kesulitan soal sejak awal
Beberapa aitem dapat ditentukan skornya sejak awal namun instrumen lain mungkin butuh data terlebih dahulu sebelum dapat ditentukan bobot skornya.

Contoh:

  • Sin 60 + Cos (45)2
  • 2 + 3 = …

Dari contoh diatas kedua soal dapat ditentukan bahwa soal pertama lebih sulit sehingga jika kedua soal diberikan bersamaan maka soal pertama harus mendapat bobot yang lebih besar dibandingkan soal ke dua.

- Penentuan taraf kesukaran soal dari hasil akhir
Pada penentuan skor setelah didapatkan hasil dari jawaban responden konsep dasarnya adalah semakin banyak yang menjawab benar semakin kecil skor yang diberikan

Rumus Penilaian

Setelah responden memberikan respon, bagaimana nilai yang akan diberikan terhadap hasil akhir. Adakah rumus tertentu untuk dapat menentukan nilai akhir dari keseluruhan instrumen.

Beberapa hal yang menjadi panduan dalam merumuskan penilaian akhir, contoh:

  • Perlukah pengurangan nilai jika salah?
  • Jika terjadi kesalahan pada nomor tertentu maka nomer lain akan dianggap salah?
  • Benar di skor 1, 3, 4 atau tergantung aspek tertentu
  • Dll.


Kejelasan Aspek yang dinilai

Salah satu faktor penting dalam instrumen alat ukur psikologi adalah kejelasan aspek yang dinilai. Berikut beberapa contoh antara konsep dan aitem yang kurang sesuai:

Contoh 1:

  • Konstruk: Kemampuan mengelola agresifitas
  • Aitem : Saya suka memukul orang lain

Berdasarkan konstruk, memukul adalah bentuk agresifitas namun bukan ciri pengelolaan agresifitas seseorang.

Contoh 2:

  • Konstruk : Kemampuan berpikir abstrak
  • Aitem :

Bayangkan: empat sudut bujur sangkar di lipat ke bagian dalam kemudian dilipat lagi hingga masing-masing ujung yang sejajar saling bertemu. Apa bentuknya saat itu?

Berdasarkan contoh diatas maka aitem mungkin mengarah kemampuan imajinasi namun tidak cukup dapat menunjukkan kemampuan berpikir abstrak.

Contoh 3:

  • Konstruk : Kemampuan kreatif
  • Aitem : Tuliskan sebanyak mungkin kata yang berhubungan dengan “meja”.

Berdasarkan contoh di atas, mungkin masih belum tepat sebagai aitem yang menunjukkan kemampuan kreatif seseorang.

Sekian artikel tentang Penulisan, Skoring, dan Penilaian Alat Ukur Psikologi.

Dasar-Dasar dan Karakteristik Pengukuran Psikologis

$
0
0
Dasar-Dasar dan Karakteristik Pengukuran Psikologis - Atribut-atribut psikologis tidak mempunyai eksistensi secara real. Atribut-atribut itu eksistensinya direka-reka secara teoritis, karena itu disebut rekaan teoritis. Sebagai sesuatu yang tidak mempunyai eksistensi riil, atribut psikologis tidak dapat dikaji secara langsung, melainkan hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui gejalanya. 

Dasar-Dasar dan Karakteristik Pengukuran Psikologis_
image source: www.therecruiterslounge.com
baca juga: Penulisan, Skoring, dan Penilaian Alat Ukur Psikologi

A. Kuantifikasi Atribut Psikologis

Atribut psikologis seperti motivasi, minat, intelegensi, bakat,

1. Keuntungan dan keterbatasan Pendekatan Kuantitatif


a. Keuntungan Pendekatan Kuantitatif
  • Ilmuwan secara tidak langsung dpaksakan mengikuti tata kerja yang tertib, konsisten dan terbuka,
  • Ilmuwan dapat membuat prediksi, jadi melaksanakan fungsi ilmu pengetahuan yang lain mengenai bidang garapannya

b. Keterbatasan Pendekatan Kuantitatif
Keterbatasan utamanya adalah kalau hasil kuantifikasi itu tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, maka hasil analilsis dan kesimpulan-kesimpulannya akan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

2. Model Teoritis

Pengembangan model teoritisnya data yang digunakan terbatas pada, data pengukuran hasil belajar, menggunakan alat non-pryektif, diselenggarakan secara kelompok dan menggunakan pendekata acuan norma.

a. Data pengukuran hasil belajar
Hasil belajar termasuk dakam kelompok atribut kognitif, yang “respons” hasil golong pengukurannya tergolong pendapat yaitu respons yang dapat dinyatakan benar-salah

b. Alat ukur non-projektif
Pengukuran hasil belajar tidak menuntut terjadinya mekanisme projeksi.

B. Teori Tes Klasik

Teori tes klasik adalah satu teori yang sudah lama digunakan, dan masih sampai saat ini digunakan oleh penggunanya,

Asumsi-asumsi teori tes klasik:

Asumsi 1.: X t = X Ɵ – X e

Skor perolehan , terdiri dari skor murni, dan skor kesalahan pengukuran . Jadi skor yang diperoleh dari sesuatu pengukuran pada umumnya tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Melesetnya skor perolehan dari keadaan yang sebenarnya merupakan kesalahan pengukuran. Misalnya A dalam suatu tes intelegensi mempunyai skor IQ= 110. Dalam testing pertama skor perolehannya IQ= 112m jadi skor perolehan ini meleset ke atas dua poin. Jadi, skor murni itu tetap, sedang skor perolehan dan skor kesalahan berubah-ubah dari testing yang satu ke testing yang lain.

Sebenarnya, yang diperlukan adalah skor murni, yaitu skor yang mencerminkan secara tepat besaran atribut yang diukur. Namun, pada umumnya tidak ada jalan untuk mengetahui skor murni secara langsung, skor murni hanya akan dapat diketahui secara tidak langsung melalui galat baku pengukuran (standard error measurement).

Asumsi 2.: ɛ (X t ) = X e

Nilai harapan skor perolehan sama dengan skor murni. Asumsi dua ini merupakan definisi skor murni. Skor murni itu adalah nilai rata-rata skor perolehan teoritis sekiranya dilakukan pengukuran ulang itu adalah hasil pengukuran yang satu harus bebas dari hasil pengukuran yang lain. Misalnya, si A dilakukan pengetesan berkali-kali, rata-rata skor perolehan si A adalah 110. Karena testing berulang-ulang tersebut itu tidak mungkin dilakukan dan bahwa tidak adanya kontaminasi ari satu testing ke testing lainnya itu tidak mungkin terjadi, maka skor murni adalah suatu bangunan teoritis.

Asumsi 3: ᵨ ₓ ₓₑ= 0


Skor murni dan skor kesalahan yang dicapai oleh suatu populasi subjek pada suatu tes tidak berkorelasi satu sama lain. Jadi tidak ada hubungan sistematik antara skor murni dan skor kesalahan. Subjek yang tinggi skor murninya tidak mesti mempunyai skor kesalahan yang lebih tinggi dibanding subjek yang rendah skor murninya.

Asumsi 4 : ᵨ Xₑι X ₑ2 = 0

Skor kesalahan pada dua tes (yang dimaksud untuk mengukur hal yang sama) tidak saling berkorelasi. Jika seseorang mempunyai skor kesalahan positif pada tes 1, maka skor kesalahannya pada tes 2 tidak tentu positif. Asumsi ini akan tidak terpenuhi sekiranya skor perolehan dipengaruhi kondisi testing, misalanya kelelahan, suasana hati dan faktor lingkungan lainnya.

Asumsi 5 : ᵨ Xₑι X ˳2 = 0


Jika ada dua tes yang dimaksudkan untuk mengukur atribut yang sama, maka skor – skor kesalahan pada tes 1 tidak berkorelasi dengan skor murni pada tes 2.

Asumsi 6
: jika dua perangkat tes (yang dimaksudkan untuk mengukur atribut yang sama) mempunyai skor perolehan Xᵼ dan Xᵼ yang memenuhi asumsi 1 sampai 5 dan jika untuk setiap populasi subjek , maka kedua tes itu diesbut tes pararel. Jadi dua perangkat tes akan merupakan tes pararel kalau skor suatu populasi yang menempuh kedua tes itu skor murninya sama dan varians skor-skor kesalahannya sa,a

Asumsi 7: Jika dua perangkat tes mempunyai skor perolehan X t1 dan X t2 yang memenuhi sasumsi i1 sampai 5 dan apabila untuk setiap populasi subjek X1 = X2 + C12, dimana C12 adalah suatu konstanta, maka kedua perangkat tes itu disebut tes yang setara.

Walaupun teori ini mempunyai keterbatasan, namun kanyataanya teori ini masih digunakan banyak pengembangan tes. Berbagai tes yang dikeluarkan lembaga-lembaga testing yang terkenal seperti, ACER, Psycholical Corporation. Demikian juga di Indonesia, seperti TPA, UMPTN , dan lainnya

C. Teori Tes Modern

Kelemahan utama teori tes klasik adalah bahwa alat ukura yang disusun berdasar teori tes klasik itu terikat kepada sampel. Butir sk=oal yang dirat=kit menjadi suatu perangkat alat ukur atau tes hanyalah sampel dari populasi butir soal yang sangat besar jumlahnya

Teori tes moden mendasarkan diri pada sifat-sifat yang laten yang mendasari kinerja atrespons subjek terhadap butir soal tertentu. Karena itu teori ini disebut model sifat laten. Atau IRT (Item Responses Theory) . Teori ini berdasarkan dua postulat:
  • Kinerja seorang subjek pada suatu soal dapat diprediksikan dari satu perangkat faktor yang disebut sifat-sifat laten atau kemampuan
  • Hubungan antara kinerja subjek pada suatu soal dan perangkat sifat-sifat yang mendasari kinerja itu dapat dideskripsikan dengan fungsi meningkat secara monotonik yang disebut fungsi karakteristik butir soal ( Item Characteristic Fungction Curve) atau ICC. Fungsi ini menyatakan bahwa apabila taraf sifat meningkat, maka probabilitas suatu respon yang benar suatu butir soal juga naik.

Jika suatu model IRT sesuai dengan data yang dipersoalkan, beberapa sosok yang diinginkan tercaai. Estimasi kemampuan subjek tidak terikat pada tes. Estimasi kemampuan yang dicapau dari bebrapa perangkat butir soal akan sama (kecuali karena kekeliruan .

Sekian artikel tentang Dasar-Dasar dan Karakteristik Pengukuran Psikologis.

Daftar Pustaka
  1. Haladyna, Thomas ( 1994). Developong and Validating Multiple-Choice Test Items. Lawrence Erlbaum Asssociates,, Publishers, New Jersey.
  2. Kuesaeri dan Suprananto ( 2012). Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Graha Ilmu
  3. Mueller, Daniel. ( 1986). Measuring Social Attitudes. Teacher College, Columbia University.New York.
  4. Suryabrata, Sumadi . (1998). Pengembangan Alat Ukur Psikologi. PT. Andi Yogyakarta.
  5. Saifuddin Azwar . ( 1996). Tes Prestasi. Pustaka Belajar
  6. Saifuddin Azwar (1996). Pengantar Tes Intelegensi. Pustaka Belajar

Perbedaan Psikologi Organisasi dan Psikologi Kerja

$
0
0
Perbedaan Psikologi Organisasi dan Psikologi Kerja - Psikologi Organisasi dan Kerja didefinisikan sebagai aplikasi psikologi yang focus membahas perilaku manusia dalam bekerja, organisasi dan produktivitas (Cascio dalam Rothman & Cooper, 2008). Keterlibatannya meliputi penelitian mengenai karyawan dan penerapan prinsip psikologi pada dunia kerja untuk membantu mengoptimalisasi keberhasilan organisasi. Istilah perilaku didefinisikan sebagai respon, reaksi dan atau pergerakan yang dibuat oleh manusia dalam situasi yang ada.

Perbedaan Psikologi Organisasi dan Psikologi Kerja_
image source: www.unomaha.edu

Psikolog organisasi dan kerja membantu individu untuk melakukan pekerja dan organisasi dalam bekerja untuk mencapai target yang diharapkan melalui :
  1. Membantu pekerja mendapatkan kesesuaian dalam bekerja, dengan memperhatikan kesesuaian perlakuan dari individu-individu yang berasal dari latar belakang yang berbeda, memilik individu yang tepat, menyediakan pelatihan, menghadiahi promosi, mencegah pelanggaran dan melakukan asesmen terhadap kinerja secara akurat. 
  2. Memastikan kepuasan dalam bekerja dengan menciptakan pekerjaan yang mendorong kinerja dan rasa aman, area kerja yang efisien, memotivasi pekerja untuk menampilkan hasil kerja yang optimal dan menciptakan kerjasama dengan latar belakang talenta dan latar belakang yang berbeda. 
  3. Membantu karyawan untuk produktif dengan merancang pola kerja yang efektif dan efisien, menyediakan pelatihan keterampilan dan pengembangan diri, membantu untuk menemukan tantangan dalam bekerja.

Perbedaan Psikologi Organisasi dan Psikologi Kerja 2_


Psikologi Organisasi fokus pada perilaku individual, kelompok dan organisasi dalam situasi kerja. Topik-topiknya adalah sebagai berikut :
  • Perbedaan individual dan manejemen perbedaan. Perbedaan individual adalah perbedaan antar orang yang didasari oleh karakteristiknya seperti sifat seorang yang membedakanya dari orang lain. Keberanekaragaman melipun penggabungan dari berbagai dimensi yang membuat individu menjadi unik dan berbeda dari orang lain.
  • Motivasi. Didefinisikan sebagai factor yang mempengaruhi dan mengatur perilaku.
  • Komunikasi. Adalah proses dimana seseorang, kelompok atau organisasi menyampaikan informasi pada orang lain.
  • Kepemimpinan. Adalah proses yang dilakukan individu untuk mempengaruhi anggota kelompok untuk mencapai tujuan kelompok atau organisasi.
  • Dinamika Kelompok. Didefinisikan sebagai dinamika dalam berinteraksi antar kelompok sosial.
  • Kesehatan, Keselamatan dan Kesejahteraan. Lingkungan tempat kerja yang sehat adalah tidak ada penyakit yang muncul. Kesejahteraan adalah cara hidup yang berorientasi untuk mencapai secara optimal kesejahteraan tubuh, pikiran dan semangat yang terintergrasi dalam individu untuk hidup lebih berarti.
  • Desain Organisasi dan Pengembangan Organisasi. Desain organisasi didefinisikan sebagai sistem formal dalam berkomunikasi, autorisasi dan tanggung jawab yang harus dijadikan pedoman organisasi yang terlihat dalam struktur internalnya. Pengembangan Organisasi didefinisikan sebagai upaya jangka panjang untuk meningkatkan kemampuan organisasi untuk menghadapi perubahan dan menyelesaikan permasalahan serta memperbaharui proses melalui manajemen yang efektif dalam budaya organisasinya.

Psikologi kerja meliputi :
  • Perencanaan sumber daya manusia. Hal ini mengenai analisa perencanaan dari kebutuhan sumber daya manusia saat ini dan masa depan dari organisasi dan implementasi dari rencana tindakan untuk memastikan ketercukupan sumber daya yang ada.
  • Analisa pekerjaan, deskripsi dan spesifikasi pekerjaan. Analisa jabatan adalah proses untuk mendapatkan informasi mengenai jabatan dengan membaginya kedalam komponen. Deskripsi pekerjaan adalah rangkuman yang tertulis mengenai bagian penting kinerja secara spesifik dari pekerjaan tersebut. Spesifikasi pekerjaan adalah penjelasan secara tertulis mengenai persyaratan minimum yang dibutuhkan untuk dapat mencapai kinerja yang optimal dari pekerja tersebut.
  • Rekrutmen dan Seleksi. Rekrutmen adalah proses untuk menarik kandidat untuk melamar pekerja yang ada dalam organisasi. Seleksi adalah memilih kandidat yang melamar dan menolak mereka yang tidak sesuai dengan persyaratan dari pekerjaan dan organisasi.
  • Induksi dan Pelatihan. Induksi didefinisikan sebagai perkenalan pada pegawai baru pada organisasi, unit kerja dan pekerjaannya. Pelatihan adalah bentuk upaya untuk mendidik pada aspek pekerjaan yang spesifik dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dari pekerja.
  • Pengembangan karir. Adalah proses penempatan, mutasi dan pengembangan keryawan melalui asesmen, perencanaan pelatihan dan pemberian tugas. Hal tersebut meliputi perencanaan karir personal maupun manajemen karir dalam organisasi
  • Evaluasi jabatan dan kompensasi. Evaluasi jabatan melibatkan perangkingan jabatan setelah dilakukan evaluasi jabatan. Nilai jabatan akan terkait dengan gaji. Total pendapatan dari pekerja dinamakan kompensasi. 
  • Penilaian kerja. Penilaian kerja adalah proses yang dilakukan organisasi untuk menentukan seberapa efektif pekerja dalam melakukan pekerjaannya.


Daftar Pustaka
  • Rothmann, I. & Cooper, C. (2008). Organizational Psychology and Work Psychology : Topics in Applied Psychology. London : Hodder Education

Tugas dan Profil Kompetensi Psikolog Organisasi dan Kerja

$
0
0
Tugas dan Profil Kompetensi Psikolog Organisasi dan Kerja - Tugas utama psikolog organisasi dan kerja adalah mengaplikasikan prinsip dan hasil penelitian psikologis pada fenomena dunia kerja. Psikolog organisasi dan kerja menggunakan pendekatan ilmiah dengan observasi kualitatif maupun mengukuran kuantitatif dan statistik untuk melalukan penelitian dan mengintervensi tempat keja (Brewerton & Billward dalam Rothman & Cooper, 2008). Lebih lanjut adalah memperhatikan efektvitas organisasi dan kesejahteraan pekerjanya.

Secara umum 4 tugas psikologi organisasi dan kerja adalah :
  1. Menjelaskan perilaku individual, kelompok dan organisasi 
  2. Mengukur perilaku dan mempredikti potensi 
  3. Memberikan kontribusi pada pengembangan organisasi 
  4. Menerjemahkan temuan penelitian dan menggunakan potensi temuan tersebut. 

Tugas dan Profil Kompetensi Psikolog Organisasi dan Kerja_
image source: www.business2community.com
baca juga: Perbedaan Psikologi Organisasi dan Psikologi Kerja

Profil Kompetensi Psikolog Organisasi dan Kerja

Profil kompetensi psikolog organisasi dan kerja dalam dilihat di berbagai website asosiasi psikologi, termasuk American Psychological Association (http://www.apa.org) and the Canadian Sociaty for Industrial and Organizational Psychology (http://psychology.uwo.ca/csiop). Profil kompetensi didefinisikan sebagai daftar kompetensi yang dibutuhkan dalam pekerjaan dan profesi secara spesifik. Kompetensi adalah pengetahuan terkait pekerjaan, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk dapat bekerja secara efektif. Pengetahuan adalah kesadaran dan pemahaman mengenai fakta, kebenaran dan informasi yang diperoleh dari pembelajaran, pengalaman dan introspeksi. Keterampilan adalah kemampuan dalam menjalankan aktivitas kerja yang memberikan kontribusi pada kinerja yang efektif. Sikap meliputi keyakinan, perasaan, nilai dan disposisi untuk bertindak.

Kompetensi Psikolog Organisasi dan Kerja meliputi :


- Pengetahuan mengenai teori dan penelitian psikologi organisasi dan kerja. (Harus memahami teori dan penelitian psikologi, menunjukkan kemampuan untuk mengasimilasikan pengetahuan psikologis baru dan berpengatahuan yang didasari pertimbangan etis
  • Perbedaan individual
  • Motivasi kerja
  • Pengukuran sikap dan perubahan
  • Perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen, seleksi dan penempatan
  • Pengembangan karir
  • Analisa, deskripsi dan evaluasi jabatan
  • Kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan dalam organisasi
  • Faktor manusia dan kineja dalam bekerja
  • Metode asesmen individual, kelompok dan organisasi
  • Teori Pengambilan Keputusan
  • Pelatihan dan Pengembangan
  • Penimbangan kerya dan manajemen
  • Perilaku kelompok dan tim
  • Kepemimpinan
  • Kompensasi dan tunjangan
  • Teori organisasi
  • Pengembangan organisasi
  • Etika, aturan dan konteks profesi

- Keterampilan dalam penelitian dan statistic (Harus mampu menampilkan kemampuan untuk memilih metode penelitian dan statistic, memahami hasil penelitian dan berpikir kritis)
  • Metodologi Penelitian
  • Analisa Statistik

- Keterampilan professional (Harus mampu menampilkan kemampuan mengaplikasikan pengetahuan pada situasi nyata, keterampilan komunikasi oral dan tertulis, dan kesadaran dapat pilihan karir)
  • Keterampilan konsultasi dan bisnis
  • Pengetahuan tentang karir
  • Keterampilan komunikasi oral dan tertulis

Kompetensi psikolog organisasi dan kerja diklasifikasikan berdasarkan 3 area sebagai berikut :

Tugas dan Profil Kompetensi Psikolog Organisasi dan Kerja 2_


Daftar Pustaka
  • Rothmann, I. & Cooper, C. (2008). Organizational Psychology and Work Psychology : Topics in Applied Psychology. London : Hodder Education

Kelebihan dan Kelemahan Karir Psikolog Organisasi dan Kerja

$
0
0
Kelebihan dan Kelemahan Karir Psikolog Organisasi dan Kerja - Artikel ini membahas tentang perbedaan psikologi kerja dan psikologi organisasi, profil kompetensi psikolog organisasi dan kerja dan karir psikolog organisasi dan kerja. Melalui artikel ini diharapkan mampu memahami dan menjelaskan kembali mengenai perbedaan psikologi kerja dan psikologi organisasi, profil kompetensi psikolog organisasi dan kerja dan karir psikolog organisasi dan kerja.

Dalam Psikologi Industri dan Organisasi terdapat dua wilayah besar yaitu

  1. Psikologi Kerja (Work Psychology) / Psikologi Industri, dimana biasa dikenal dengan Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource Management). Fokus pada unit kecil.
  2. Psikologi Organisasi (Organizational Psychology), dimana biasa dikenal mengkaji perilaku organisasi (organizational behavior). Fokus pada unit besar.


Kelebihan dan Kelemahan Karir Psikolog Organisasi dan Kerja_
image source: psychologydegreelink.com
baca juga: Tugas dan Profil Kompetensi Psikolog Organisasi dan Kerja

Studi tentang perilaku dalam konteks kerja dan organisasi mulai tahun 1990 dimana mulai dikenal scientific management, teori organisasi klasik, the hawthorne studies, pendekatan relasi manusia, pendekatan system sosial-teknis, teori kontigensi, teori tentang transformasi organisasi, budaya organisasi, organisasi pembelajar (the learning organization), kerjasama, total quality management dan psikologi positif

Karir Psikolog Organisasi dan Kerja

Hal-hal yang menarik dalam berkarir sebagai psikolog organisasi dan kerja adalah :

  • Banyak kesempatan karir. Dapat bekerja di departemen sumber daya manusia pada swasta maupun prganisasi pemerintahan atau pada perusahan konsultan
  • Menantang karena wilayah baru dan memberikan kesempatan untuk belajar,bervariasi dan memberikan kebebasan (autonomi).
  • Dibutuhkan karena organisasi menyadari manejemen potensi sumber daya manusia adalah kunci sukses usaha
  • Dapat bekerja dalam organisasi atau menjadi wirausaha dengan membuat usaha sendiri.


Kelemahan berkarir sebagai psikolog organisasi dan kerja adalah sebagai berikut :

  • Banyak pekerja membutuhkan gelar master atau doctoral dalam psikologi organisasi dan kerja
  • Beresiko untuk burnout
  • Banyak berinteraksi secara intensif dengan orang, bila tidak suka maka akan membuat rasa frustasi
  • Berupaya membantu orang lain, akan tetapi akan membuat frustasi karena mereka tidak ingin berubah.


Sekian artikel tentang Kelebihan dan Kelemahan Karir Psikolog Organisasi dan Kerja.

Daftar Pustaka

  • Rothmann, I. & Cooper, C. (2008). Organizational Psychology and Work Psychology : Topics in Applied Psychology. London : Hodder Education

Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Analisa Pekerjaan

$
0
0
Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Analisa Pekerjaan - Materi ini memperkenalkan pembaca kepada perencanaan sumber daya manusia dan analisa jabatan. Bagian pertama berfokus pada perencanaan sumber daya manusia. Kita melihat definisi perencanaan sumber daya manusia. Bab ini kemudian dilanjutkan kepada alasan-alasan untuk perencanaan sumber daya manusia, dan proses perencanaan sumber daya manusia.

Mengenai proses perencanaan sumber daya manusia, berbagai tahapan dibahas, termasuk menganalisis situasi, menentukan karakteristik tenaga kerja saat ini, menganalisis permintaan dan pasokan sumber daya manusia, menentukan tujuan sumber daya manusia, merancang dan menerapkan rencana sumber daya manusia, dan mengumpulkan/menganalisis informasi yang dapat digunakan sebagai umpan balik untuk memperbarui proses perencanaan sumber daya manusia. Bagian kedua berfokus pada analisis jabatan. Kita melihat definisi analisa jabatan, langkah-langkah dalam analisis pekerjaan, penggunaan informasi analisis pekerjaan dan metode analisis jabatan. Terakhir, kita membahas mengenai deskripsi pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan.

Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Analisa Pekerjaan_
image source: www.calibagroup.com
baca juga: Kelebihan dan Kelemahan Karir Psikolog Organisasi dan Kerja

A. Perencanaan sumber daya manusia

1. Definisi Perencanaan Sumber Daya Manusia

Coyle – Shapiro et al (dalam Ian Rothmann & Cory Cooper, 2008) mengemukakan bahwa perencanaan sumber daya manusia adalah suatu analisa perencanaan akan kebutuhan sumber daya manusia dari suatu organisasi di masa sekarang dan masa depan (kuantitatif dan kualitatif) dan pelaksanaan dari rencana-rencana tindakan yang akan dilakukan untuk menjamin persediaan yang memadai dari sumber daya manusia. Ini adalah proses yang berkelanjutan yang terkait dengan banyak kegiatan lain yang terjadi di dalam sebuah organisasi, terutama kegiatan kegiatan pengelolaan sumber daya manusia, seperti rekrutmen, penilaian kinerja dan pelatihan.

2. Alasan Perencanaan Sumber Daya Manusia

Alasan-alasan dalam perencanaan sumber daya manusia dapat diringkas sebagai berikut :

  • Melalui perencanaan sumber daya manusia memungkinan untuk menempatkan sumber daya manusia dalam penggunaan yang strategis. Ini berarti bahwa perencanaan strategis dari suatu organisasi dapat dilakukan pada lebih banyak basis yang lebih pasti dari sebelumnya.
  • Melalui perencanaan sumber daya manusia, risiko yang tidak perlu dapat dihindari ketika perencanaan strategis organisasi dilakukan. Dengan cara ini, perencanaan sumber daya manusia diperlukan agar sebuah organisasi dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan di dalam lingkungan. Perubahan-perubahan ini dapat terjadi dari berbagai macam aspek, seperti perubahan dalam undang-undang, di pasar, dalam produk atau jasa, dalam pembukaan pasar baru, dalam teknologi dan persaingan dari organisasi lain.
  • Karena organisasi biasanya menggunakan model visual dalam sistem sumber daya manusia mereka ketika melakukan perencanaan sumber daya manusia, hal ini memudahkan untuk melihat ketika masalah-masalah akan dihadapi. Dengan cara ini penyesuaian yang diperlukan dalam rencana dapat dibuat sesegera mungkin setelah masalah-masalah tersebut divisualisasikan. Masalah-masalah ini mungkin dalam bentuk kelebihan atau kekurangan persediaan pekerja tertentu pada tahap tertentu di masa depan.
  • Melalui perencanaan sumber daya manusia, penggunaan yang lebih efektif antara perencanaan dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang dapat dibuat dari sumber daya manusia yang tersedia didalam organisasi. Ketika sumber daya manusia dimanfaatkan secara efektif, itu juga berarti bahwa sumber daya lainnya, seperti waktu, mesin dan uang, juga dapat dimanfaatkan lebih efektif.
  • Perencanaan sumber daya manusia memberikan kesempatan kepada sebuah organisasi untuk mengembangkan personil yang memiliki tingkatan performa yang tinggi untuk mengambil posisi yang telah meninggalkan tingkat senior dan pekerjaan manajemen. Organisasi yang menggunakan sejumlah besar pekerja teknis atau profesional atau manajer dengan keterampilan tinggi perlu tahu kapan jenis pekerjaan ini harus diganti di masa depan, karena seringnya keterbatasan persediaan pada jenis pekerjaan tersebut.
  • Perencanaan sumber daya manusia memungkinkan organisasi untuk terus meningkatkan keterampilan dan kemampuan dari seluruh tenaga kerja dengan berkonsentrasi pada kegiatan seperti rekrutmen, seleksi, penempatan, pelatihan dan pengembangan dan manajemen karir.
  • Kegiatan perencanaan sumber daya manusia memastikan bahwa tim manajemen teratas dari suatu organisasi mampu mendapatkan pandangan ilmiah, dan juga wawasan yang diperlukan ke dalam interaksi antara perencanaan strategis organisasi dan sumber daya manusia yang kompleks dan mahal.
  • Perencanaan sumber daya manusia menempatkan manajemen suatu organisasi dalam posisi untuk mengelola sumber daya manusia dengan cara yang sesuai dengan semua persyaratan hukum dan untuk secara efektif melawan setiap tindakan yang dilembagakan oleh pekerja atau serikat buruh.
  • Schabrarq (dalam Ian Rothmann & Cory Cooper, 2008) mengemukakan bahwa perencanaan sumber daya manusia memiliki pengaruh langsung terhadap kualitas kehidupan kerja yang dihadapi pekerja. Ini memberikan pekerja rasa aman dan membangun rasa percaya dalam suatu organisasi sebagai seorang pegawai. Hal ini biasanya mengurangi absensi pekerja, terlibat dalam kecelakaan lebih sedikit, melakukan pekerjaan dengan kualitas yang lebih baik dan menjadi tidak rentan untuk meninggalkan organisasi.


3. Proses Perencanaan Sumber Daya Manusia

Selanjutnya, akan diberikan suatu gambaran mengenai langkah-langkah utama yang harus diikuti dalam melakukan perencanaan sumber daya manusia.

a. Analisa Situasi / Pengamatan Lingkungan

Tahap pertama dalam perencanaan sumber daya manusia adalah menghubungkan antara fungsi sumber daya manusia dalam sebuah organisasi dengan rencana strategisnya. Rencana strategis harus sejalan dengan kondisi lingkungan saat ini, dan juga dengan perubahan-perubahan kondisi jangka panjang. Sumber daya manusia dari suatu organisasi adalah salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatur suatu organisasi terhadap perubahan kondisi lingkungan. Itulah sebabnya manajer sumber daya manusia sebaiknya menjadi anggota tim yang melakukan perencanaan strategis bagi suatu organisasi.

Sebuah organisasi harus mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan tentang lingkungannya. Organisasi juga harus mengatur (atau menyesuaikan) tujuannya dalam hal pemasaran, produksi dan keuangan atas dasar pemindaian lingkungan tersebut. Tujuan dari perencanaan sumber daya manusia adalah untuk memberikan kontribusi terhadap efisiensi organisasi. Untuk alasan itu harus diintegrasikan dengan rencana-rencana dan tujuan-tujuan bisnis jangka pendek dan jangka panjang organisasi tersebut.

Panjangnya periode perencanaan juga harus dipertimbangkan. Organisasi cenderung melakukan perencanaan sumber daya manusia jangka pendek, mungkin dikarenakan resiko bahaya yang lebih sedikit ketika melakukan kesalahan memprediksi seseorang jika menggunakan periode perencanaan tidak lebih dari satu tahun, atau setidaknya tidak lebih dari dua tahun. Sebuah periode perencanaan hingga dua tahun biasanya disebut periode jangka pendek. Sebuah periode perencanaan 2-5 tahun biasanya disebut periode menengah atau jarak menengah. Ketika telah melampaui periode lima tahun, hal ini telah menjadi perencanaan jangka panjang. Semakin lama jangka waktu yang digunakan, semakin sulit untuk mengantisipasi berbagai faktor yang akan mempengaruhi proses perencanaan.

Menjadi hal yang sangat penting bahwa manajer sumber daya manusia dan manajer lini bekerja sama untuk mengembangkan rencana bisnis dan untuk menentukan kebutuhan sumber daya manusia. Mereka juga harus menentukan karakteristik tenaga kerja yang bagaimana yang akan cocok untuk masa depan strategi bisnis. Dan hal ini juga akan sangat mungkin memerlukan pengembangan program-program untuk memastikan bahwa strategi dapat dilakukan.

b. Sebuah Analisa Situasi SDM Saat Ini

Biasanya langkah berikutnya dalam proses perencanaan sumber daya manusia adalah menentukan karakteristik para pekerja yang dipekerjakan oleh organisasi pada saat ini. Ini berarti bahwa sebuah inventaris bagi karyawan saat ini harus dikembangkan. Kadang-kadang inventaris tersebut juga disebut sebuah inventaris keterampilan atau sebuah sistem informasi sumber daya manusia. Agar berguna, sistem informasi sumber daya manusia harus terkomputerisasi. Kadang-kadang organisasi meminta seorang programmer untuk mengembangkan sebuah sistem informasi sumber daya manusia atau sebuah inventaris karyawan yang sesuai dengan tujuan organisasi tertentu.

Jenis informasi yang ditemukan dalam sistem informasi sumber daya manusia tergantung pada kebutuhan organisasi tertentu. Setidaknya, itu harus berisi informasi dasar tentang setiap karyawan. Ketika berbicara mengenai sebuah inventaris keterampilan, hal ini harus berisi informasi pribadi (misalnya nama dan usia pekerja), riwayat pekerjaan, pekerjaan sekarang atau posisi dan pekerjaan kelas, gaji sekarang dan skala gaji, keterampilan, pendidikan, pengalaman kerja, dan pelatihan, kualifikasi khusus atau prestasi, hasil penilaian kinerja atau indikator lainnya yang sangat potensial, dan tujuan karir pribadi. Dari informasi yang ditemukan dalam sebuah persediaan keterampilan, tingkat keterampilan karyawan dan sejauh mana mereka dapat dikembangkan dapat dinilai.

c. Analisa Permintaan dan Persediaan Sumber Daya Manusia

Langkah kedua dalam perencanaan sumber daya manusia adalah untuk menganalisa kebutuhan masa depan dan persediaan sumber daya manusia. Permintaan dalam kasus sumber daya manusia perencanaan mengacu pada jumlah pekerja yang dibutuhkan pada waktu dan tempat tertentu dan karakteristik-karakteristik yang harus mereka miliki. Karakteristik mengacu pada kemampuan, keterampilan dan pengalaman pekerja untuk mengisi posisi tertentu. Persediaan dalam kasus perencanaan sumber daya manusia mengacu pada jumlah pekerja dan karakteristiknya yang tersedia untuk mengisi posisi tertentu. Pertanyaan-pertanyaan berikut harus dijawab untuk menentukan permintaan dan persediaan sumber daya manusia :

  1. Posisi-posisi apa yang akan perlu diisi selama periode perencanaan sumber daya manusia sedang dilakukan? Perencana sumber daya manusia harus memperkirakan berapa banyak pekerja yang mungkin akan mengundurkan diri, berapa banyak posisi yang berlebihan dan berapa banyak posisi baru yang akan dibuat. Kecenderungan masa lalu tentang pengunduran diri, posisi yang berlebih dan pembentukan posisi baru dapat dianalisa. Survei sikap sebelumnya dapat juga dihubungkan dengan perputaran tenaga kerja untuk mendapatkan ide mengenai jumlah lowongan yang mungkin terjadi. Rencana bisnis dapat juga digunakan untuk mendapatkan ide mengenai jumlah posisi yang akan dibuat berlebihan atau posisi baru.
  2. Bagaimana dan di mana kita akan menemukan sumber daya manusia yang diperlukan untuk mengisi posisi yang telah teridentifikasi? Disini adalah penting untuk menentukan karakteristik sumber daya manusia yang seharusnya. Setelahnya, karakteristik tenaga kerja yang ada, dan juga orang-orang yang direkrut dari luar organisasi dapat dipertimbangkan. Organisasi harus memiliki data terkini mengenai pensiun, kemajuan dan perjanjian yang telah terjadi di masa lalu. Ketika melihat karakteristik tenaga kerja saat ini,adalah penting untuk mengembangkan sebuah inventaris keterampilan. Ketika menentukan permintaan dan persediaan sumber daya manusia, metode kuantitatif yang berbeda dapat digunakan, tetapi metode perkiraan yang biasanya digunakan lebih tergantung pada penilaian manusia. Berbagai teknik yang dapat digunakan selama proses ini adalah sebagai berikut : Seorang ahli dapat melakukan perkiraan. Kadang-kadang sebuah panel ahli dapat digunakan untuk tujuan ini. Kecenderungan di masa lalu dapat digunakan untuk membuat proyeksi masa depan. Teknik pemodelan yang canggih dan beberapa teknik peramalan dapat digunakan, di mana faktor-faktor yang berbeda (seperti volume penjualan atau produk nasional bruto) dapat dikorelasikan dengan angka tenaga kerja. Teknik-teknik yang lebih canggih ini yaitu termasuk model matematika, simulasi dan teknik statistik analisa regresi.


Perencanaan sumber daya manusia berlangsung pada dua tingkat, yaitu pada tingkat kuantitatif dan kualitatif tingkat. Tingkat kuantitatif berhubungan dengan memastikan bahwa jumlah yang tepat dari orang yang memiliki kualifikasi yang tepat tersedia pada waktu yang tepat pula. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan SDM masa depan suatu organisasi termasuk tingkat pergantian staf, tingkat absensi, pensiun, perubahan jam kerja hukum dan karyawan perempuan yang menikah atau yang hamil. Ini berarti bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pergantian karyawan dan absensi harus dipelajari lebih dalam ketika melakukan perencanaan sumber daya manusia. Tingkat kualitatif berhubungan dengan memiliki ketersediaan orang yang tepat, yaitu, orang-orang yang mampu berkomunikasi pada tingkat individual maupun kelompok, yang termotivasi, cukup puas dan loyal.

Hough dan Furnham (dalam Ian Rothmann & Cory Cooper, 2008) mengemukakan bahwa motivasi para pekerja juga harus dipertimbangkan. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan bahwa pekerjaan dilakukan sedemikian rupa dan lingkungan kerja sedemikian natural sehingga orang dapat memanfaatkan keterampilan dan kemampuan mereka. Orang harus dilatih untuk berkomunikasi efektif. Organisasi harus menentukan apakah karyawan cukup puas dengan pekerjaan mereka. Ketika memilih karyawan, organisasi harus menentukan apakah kandidat memiliki kualitas yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan dan cocok dengan 'budaya' organisasi.

d. Menentukan Tujuan Sumber Daya Manusia

Setelah persediaan, dan permintaan, sumber daya manusia untuk jangka waktu tertentu telah ditentukan, adalah mungkin untuk membandingkan permintaan dengan persediaan. Jika ada perbedaan antara perkiraan permintaan dan persediaan, organisasi perlu menentukan langkah-langkah tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan perbedaan ini. Jika sebuah organisasi terlibat dalam perencanaan jangka pendek, dimungkinkan untuk mengukur tujuan.

Berikut ini adalah contoh tujuan sumber daya manusia jangka pendek :

  • Meningkatkan jumlah pelamar kerja mungkin dengan cara kampanye rekrutmen
  • Menarik calon yang memiliki kualifikasi yang diperlukan
  • Meningkatkan kualifikasi orang-orang yang dipilih dan ditunjuk
  • Memastikan bahwa mereka yang telah ditunjuk akan tetap bekerja didalam organisasi selama mungkin.


e. Desain dan Implementasi Dari Rencana Sumber Daya Manusia

Ini adalah fase dimana rencana yang dapat mengarahkan organisasi mencapai tujuan sumber daya manusia harus dirancang dan diimplementasikan. Dalam kasus permintaan diperkirakan menjadi lebih besar dari persediaan dalam hal sumber daya manusia, rencana-rencana ini dapat mencakup rekrutmen, seleksi, penilaian kinerja, pelatihan, memperhatikan remunerasi (gaji dan upah), kemajuan dan kegiatan pengembangan karir dan melembagakan sistem kerja lembur. Di sini terlihat bahwa sangat penting semua kegiatan departemen sumber daya manusia harus dilakukan secara terkoordinasi dan secara terpadu. Dalam kasus permintaan diperkirakan lebih kecil dari persediaan sumber daya manusia, berikut ini adalah kemungkinan strategi yang dapat diterapkan : pensiun dini, PHK, memanfaatkan proses yang disebut berbagi pekerjaan (misalnya di mana dua karyawan masing-masing melakukan setengah dari pekerjaan), bekerja minggu kerja yang lebih pendek dan tidak mengisi posisi yang ditinggalkan oleh orang-orang yang pensiun atau mengundurkan diri.

f. Mengumpulkan dan Menganalisa Informasi Yang Dapat Digunakan Sebagai Umpan Balik

Perencanaan sumber daya manusia tidak berhenti dengan pelaksanaan strategi untuk mencapai tujuan sumber daya manusia. Sebelumnya dinyatakan bahwa perencanaan sumber daya manusia adalah proses yang berkelanjutan. Ini berarti bahwa perencanaan sumber daya manusia tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang mungkin dilakukan setahun sekali dan kemudian diabaikan dan dilupakan. Selama periode perencanaan sumber daya manusia telah dilakukan, fungsi perencanaan sumber daya manusia yaitu harus mencari umpan balik tentang kemajuan mengenai tujuan yang telah ditentukan. Berdasarkan umpan balik yang diterima, penyesuaian perlu dibuat mengenai rencana sumber daya manusia. Karena tujuan sumber daya manusia jangka pendek biasanya ditetapkan secara kuantitatif (misalnya, jumlah perajin perlu direkrut pada akhir periode tertentu), biasanya cukup mudah untuk menentukan sejauh mana tujuan-tujuan tersebut telah tercapai.

Faktor lingkungan dapat berubah selama periode perencanaan dilakukan. Inventaris keterampilan juga harus diperbarui. Ini mungkin bahwa program pelatihan tidak membawa perubahan yang diperlukan dalam tingkat keterampilan yang telah diperkirakan. Bisa juga karena ekonomi sulit, lebih sedikit pekerja memilih untuk pensiun dini. Dari apa yang baru saja dikatakan, menjadi jelas mengapa perencanaan sumber daya manusia harus dilakukan secara terus menerus.

B. Analisa Pekerjaan

1. Definisi Analisa Pekerjaan

Analisa pekerjaan didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi pekerjaan dengan memecah pekerjaan menjadi elemen-elemen dari komponennya, dengan tujuan untuk mengidentifikasi apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab pekerjaan tersebut, keterampilan-keterampilan, pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan itu, dan kondisi lingkungan yang bagaimana yang mengelilingi pekerjaan tersebut. Deksripsi pekerjaan merupakan ringkasan tertulis dari bidang kinerja utama (tugas, kewajiban dan/atau tanggung jawab) dari pekerjaan tertentu. Deskripsi pekerjaan berisi presentasi yang jelas tentang apa yang dilakukan, bagaimana hal tersebut dilakukan dan mengapa hal tersebut dilakukan. Spesifikasi pekerjaan adalah penjelasan tertulis mengenai persyaratan minimum yang diperlukan untuk pelaksanaan yang efektif terhadap tugas yang diberikan. Hal ini termasuk pengetahuan, keterampilan, kemampuan, sifat dan karakteristik lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan kerja yang efektif.

2. Langkah-langkah Dalam Analisa Pekerjaan

Proses dalam analisa pekerjaan terdiri dari beberapa langkah:

Langkah 1 : Tentukan siapa yang harus melaksanakan analisa pekerjaan. Jika suatu organisasi hanya memiliki kebutuhan sesekali untuk informasi analisa pekerjaan, maka mereka bisa menyewa seorang analis kerja sementara dari luar. Organisasi yang lain akan mempekerjakan analis yang berpengalaman yang bekerja penuh waktu. Meskipun demikian, organisasi yang lain akan menggunakan pengawas, pejabat yang sudah mapan atau beberapa kombinasi dari ini untuk mengumpulkan informasi mengenai analisa pekerjaan. terlepas dari siapa yang akan mengumpulkan informasi, orang tersebut harus benar-benar memahami orang, pekerjaan dan sistem organisasi secara keseluruhan.

Langkah 2 : Periksa keseluruhan organisasi dan kesesuaian untuk setiap pekerjaan. Langkah ini memberikan pandangan yang luas mengenai bagaimana setiap pekerjaan sesuai dengan struktur organisasi secara menyeluruh. Bagan organisasi dan bagan proses digunakan untuk melengkapi langkah ini.

Langkah 3 : Tentukan bagaimana informasi analisa pekerjaan akan digunakan. Kebutuhan Penggunaan yang berbeda dari informasi analisa pekerjaan untuk pendekatan yang berbeda. Sebagai contoh, jika tujuan manajemen untuk memastikan bahwa tes penyeleksian itu berlaku dengan membuktikan bahwa isi dari tes tersebut mencerminkan isi dari pekerjaan, kemudian analisa pekerjaan akan fokus pada kegiatan kerja dari pekerjaan tersebut. Di sisi lain, tujuan pengembangan sistem evaluasi kinerja yang akan dipertahankan di lapangan mungkin memerlukan pengumpulan informasi mengenai perilaku yang menghasilkan kurang dan lebihnya pelaksanaan kerja yang sukses.

Langkah 4 : Pilihlah pekerjaan yang akan dianalisa. Dikarenakan hal ini biasanya terlalu mahal dan memakan waktu untuk menganalisa setiap pekerjaan, sampel yang mewakili pekerjaan, harus dipilih. Manajer dari departemen terkait harus dihubungi, dan mengenai proses pencapaian tujuan harus didiskusikan dengan dia. Hal ini penting untuk mendapatkan kerjasamanya. Dikarenakan analisa pekerjaan memainkan peranan penting dalam manajemen orang, hal ini harus dilaksanakan ketika suatu pekerjaan baru diperkenalkan dalam suatu organisasi, dan ketika tugas utama pekerjaan itu dan pelaksanaan kerja para pekerja perlu untuk diubah.

Langkah 5 : Kumpulkan data dengan menggunakan teknik analisa pekerjaan yang dapat diterima. Teknik-teknik tersebut seperti wawancara, observasi dan kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data berdasarkan karakteristik pekerjaan tersebut, tingkah laku yang dibutuhkan dan karakteristik pekerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.

Langkah 6 : Siapkan deskripsi pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan.

Pengetahuan dan data yang dikumpulkan dalam langkah 1-6 digunakan sebagai landasan untuk kegiatan sumber daya manusia lainnya.

3. Penggunaan Analisa Pekerjaan

Analisa pekerjaan merupakan landasan dari manajemen sumber daya manusia. Analisa pekerjaan dapat digunakan dalam setiap kegiatan sumber daya manusia berikut ini:

  • Analisa pekerjaan bisa digunakan untuk mempersiapkan deskripsi kerja. Deksripsi pekerjaan yang lengkap terdiri dari ringkasan kerja, tugas dan tanggung jawab dari pekerjaan tersebut, dan petunjuk mengenai kondisi kerja.
  • Analisa pekerjaan digunakan untuk menuliskan spesifikasi kerja. Spesifikasi kerja menguraikan sifat dan karakteristik individu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik.
  • Analisa pekerjaan memungkinkan untuk mengatur dan mengintegrasikan tenaga kerja keseluruhan berdasarkan tugas dan tanggung jawab.
  • Program kepegawaian organisasi bersandar pada informasi yang diberikan oleh analis pekerjaan. Informasi analis pekerjaan dapat digunakan untuk membantu perekrut untuk mencari dan menemukan tipe orang yang akan masuk ke organisasi, untuk memberikan informasi tentang sifat dari pekerjaan, untuk menetapkan standar yang pelamar harus penuhi, untuk menentukan teknik seleksi mana yang dapat digunakan, dan untuk menetapkan kriteria untuk proses seleksi.
  • Analis dapat menggunakan informasi yang dikumpulkan melalui analisa jabatan untuk tujuan pelatihan dan pengembangan (misalnya kebutuhan pelatihan karyawan, isi dari pelatihan, dan metode pelatihan yang relevan).
  • Analisa pekerjaan menyediakan data dasar yang dibutuhkan untuk melakukan evaluasi kerja. Evaluasi kerja adalah suatu proses sistematis untuk menentukan nilai dari pekerjaan yang berhubungan terhadap semua pekerjaan lain dalam suatu organisasi.
  • Analisa pekerjaan digunakan untuk menentukan kriteria dan persyaratan untuk penilaian kinerja pemegang jabatan. Tanpa analisa pekerjaan yang memadai, memungkinkan bahwa keberhasilan seorang karyawan yang diberikan tugas tersebut dinilai dari segi perilaku yang mungkin penting, tetapi sebenarnya memiliki sedikit sekali hubungan untuk mengetahui apakah karyawan tersebut telah berhasil.
  • Analisis pekerjaan dapat digunakan dalam pengembangan karir. Kepindahan seseorang ke dalam dan keluar dari posisi pekerjaan atau jabatan merupakan prosedur umum dalam organisasi.
  • Kondisi kerja dan keamanan dapat ditingkatkan berdasarkan hasil dari analisa pekerjaan. Keamanan suatu pekerjaan bergantung pada tata letak yang tepat, standar, peralatan dan kondisi fisik lainnya.


4. Metode Analisa Pekerjaan

Ada lima metode dasar, yang dapat digunakan secara terpisah atau dikombinasikan dalam pengumpulan data analisis pekerjaan. Metode ini adalah observasi, wawancara, kuesioner, teknik insiden kritis dan buku harian pemegang jabatan.

a. Observasi

Pengamatan langsung digunakan untuk pekerjaan yang memerlukan manual, standarisasi dan kegiatan siklus kerja yang pendek. Pengamatan akan sangat berguna dalam pekerjaan yang menuntut beberapa keterampilan, dimana pekerjaan dikontrol secara mekanis, yang melibatkan kegiatan fisik dan dengan siklus kerja yang pendek. Tugas pekerja perakit mobil, petuga pengajuan di perusahaan asuransi dan pekerja gudang persediaan merupakan contoh dari pekerjaan yang bisa dianalisa dengan menggunakan pengamatan. Sebaliknya, pengamatan tidak layak untuk pekerjaan yang berhubungan dengan sejumlah besar aktivitas mental, seperti ilmuwan peneliti, pengacara atau oakar matematika. Pekerjaan yang berhubungan dengan faktor yang tidak bisa dinyatakan dengan jelas, seperti keputusan, perhitungan dan pengambilan keputusan yang memberikan sedikit peluang untuk memberikan informasi kepada pengamat.

Analis mengamati apa yang dilakukan oleh pekerja, mengapa mereka melakukannya, bagaimana mereka melakukannya, keterampilan apa yang digunakan dan tuntutan fisik apa yang dibutuhkan untuk penempatan karyawan tersebut. Agar pengamatan dapat digunakan secara maksimal, sample beberapa karyawan yang memadai dan mewakili dibutuhkan untuk mengamati diberbagai waktu selama periode kerja. Hal ini berguna untuk menjadikannya sesederhana mungkin ketika observasi digunakan. Para karyawan tidak boleh merasa terganggu dalam melaksanakan tugasnya. Analis harus juga mengingat bahwa karyawan bisa saja mengubah perilaku mereka ketika mereka diamati. Karyawan harus memiliki kesempatan untuk mempelajari catatan analisa pekerjaan, dan mengubah pengamatan yang salah.

b. Wawancara

Wawancara mungkin merupakan teknik pengumpulan data yang paling banyak digunakan. Ini memungkinkan Analis untuk berbicara secara langsung dengan pemegang jabatan. Pemegang jabatan bisa menanyakan pertanyaan, dan wawancara ini memberikan kesempatan untuk Analis untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan dan informasi analisa jabatan akan digunakan. Informasi yang dapat dipercaya, akurat dan komprehensif dapat dikumpulkan dengan mewawancarai karyawan dan supervisor, wawancara bisa dilaksanakan dengan satu orang pemegang jabatan, sekelompok orang, atau dengan seorang supervisor yang memiliki pengetahuan tentang pekerjaan ini. Biasanya satu set pertanyaan terstruktur akan digunakan dalam wawancara sehingga jawaban dari masing – masing individu bisa dibandingkan.

Kelebihan dari metode wawancara :

  1. Memungkinkan Analis untuk mengumpulkan informasi tugas yang lengkap dan akurat, memberikan perhatian yang diperlukan bahwa pekerjaan tersebut tidak sengaja meningkat. Analis juga harus mengkonfirmasikan informasi dengan pemegang jabatan lainnya dan atasan langsung mereka.
  2. Dengan mewawancarai karyawan menyelamatkan mereka dari hal-hal yang mengharuskan mereka memberikan penjelasan mengenai pekerjaan mereka, sesuatu hal yang biasanya mengakibatkan sakit kepala bagi karyawan.
  3. Wawancara memberikan karyawan kesempatan untuk menerima informasi secara langsung mengenai alasan untuk menganalisa pekerjaan dari Analis.


Mewawancarai seseorang untuk menganalisa pekerjaan memiliki kelemahan sebagai berikut :

  1. Membutuhkan banyak waktu jika banyak pekerjaan yang harus dianalisa.
  2. Ini adalah metode yang mahal, karena organisasi harus membayar gaji analis, dan orang yang diwawancara kehilangan jam kerjanya.
  3. Tidak mungkin untuk melibatkan semua pekerja. Jika kuesioner yang digunakan akan memungkinkan untuk melibatkan banyak karyawan.
  4. Informasi yang tidak akurat bisa saja dikumpulkan. Sebagai contoh, jika pemegang jabatan percaya bahwa wawancara analisa pekerjaan akan digunakan untuk mengatur tingkat kompensasi pekerjaan tersebut, dia mungkin saja memberikan informasi yang salah. Untuk itu perlu untuk mewawancarai lebih dari satu orang, untuk merencanakan wawancara dengan baik, untuk menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan untuk menjalin hubungan dengan orang yang diwawancarai.


c. Kuesioner

Para Analis pekerjaan dapat menyusun kuesioner untuk dikirimkan kepada karyawan dan supervisor. Informasi yang dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner harus diperiksa untuk memastikan bahwa data tersebut akurat dan lengkap. Pemegang jabatan dengan atasannya biasanya akan diminta untuk melengkapi kuesioner. Kuesioner mencakup pertanyaan spesifik tentang pekerjaan, persyaratan kerja, kondisi kerja dan peralatan. Format dan derajat dari struktur yang dipertanyakan memiliki masalah yang diperdebatkan. Sebenarnya tidak ada format terbaik untuk kuesioner. Kuesioner harus sesingkat dan sesederhana mungkin, tujuan dan kegunaannya harus dijelaskan, sebagai pengetahuan mengapa kuesioner tersebutharus diisi, dan harus diuji coba terlebih dahulu sebelum digunakan.

Kuesioner memiliki keuntungan sebagai berikut :

  1. Membuat ketentuan untuk partisipan dengan jumlah maksimal, karena setiap karyawan dan supervisor dapat mengisi kuesioner.
  2. Mempersiapkan karyawan untuk wawancara tindak lanjut (jika wawancara yang digunakan), karena hal ini memberikan mereka waktu untuk memikirkan tentang aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka.
  3. Menghemat waktu dan uang jika kuesioner lengkap dan akurat.


Namun, kuesioner memiliki kelemahan sebagai berikut :

  1. Sulit untuk menyusun kuesioner yang baik.
  2. Sangat sulit dan memakan waktu untuk menafsirkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan.
  3. Karyawan kadang merasa terganggu oleh kuesioner. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpedulian dalam mengisi kuesioner.


Motivasi karyawan untuk mengisi kuesioner lengkap terkadang bermasalah. Banyak Analis menggunakan perpaduan antara wawancara dan kuesioner untuk menganalisa pekerjaan. Perpaduan dari kuesioner dan wawancara akan memberikan informasi yang lebih akurat, memberikan karyawan kesempatan untuk menguraikan jawaban yang diberikan dalam kuesioner, dan memberikan Analis kesempatan untuk memberikan informasi pertama mengenai alasan untuk menganalisa pekerjaan.

d. Teknik Insiden Kritis

Dalam metode ini karyawan dan supervisor diminta untuk melaporkan kejadian penting dalam perilaku kerja mereka yang efektif dan tidak efektif dalam mencapai tujuan pekerjaan mereka. Unsur-unsur, situasi di mana itu terjadi, apa yang dilakukan karyawan itu efektif atau tidak efektif, dan efek dari perilaku yang ditunjukkan dalam setiap kejadian. Keuntungan dari metode ini adalah bahwa perilaku nyata, bukan pendapat atau terkesan subyektif, digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan. Kelemahannya adalah bahwa dibutuhkan banyak waktu untuk mengumpulkan, menganalisa dan mengklasifikasikan insiden. Dengan menggunakan metode insiden kritis, perilaku pekerja 'rata-rata' sulit sekali untuk membedakan dan tidak mungkin untuk menyusun deskripsi pekerjaan yang lengkap.

e. Buku Harian Pemegang Jabatan

Buku harian tersebut dicatat oleh pemegang jabatan yang menguraikan kewajiban tugas, frekuensi pekerjaan tersebut dan kapan pekerjaan tersebut dilakukan. Teknik ini membutuhkan pemegang jabatan untuk menulis buku harian setiap hari. Sayangnya, banyak individu tidak cukup disiplin untuk menulis buku harian tersebut. Jika buku harian tersebut selalu tepat waktu, hal ini dapat memberikan informasi yang baik tentang pekerjaan. Perbandingan pada tugas harian, mingguan, atau bulanan dapat dilakukan. Buku harian ini sangat berguna ketika mencoba untuk menganalisa pekerjaan yang sulit untuk diamati, seperti yang dilakukan oleh para insinyur, ilmuwan dan eksekutif senior.

5. Deskripsi Pekerjaan

Deskripsi pekerjaan adalah salah satu hasil utama yang diberikan untuk analisa pekerjaan yang sistematis. Ini adalah deskripsi tertulis tentang apa saja yang diperlukan oleh suatu pekerjaan. Meskipun tidak ada format standar untuk sebuah deskripsi pekerjaan, tetapi ini telah mencakup informasi mengenai aspek-aspek tersebut :

  • Jabatan. Suatu gelar dari pekerjaan dan informasi lainnya yang mengidentikasikan upah dan juga manfaat klasifikasi.
  • Ringkasan. Pernyataan yang terdiri dari dua kalimat singkat yang menjelaskan tujuan dari pekerjaan dan hasil yang diharapkan dari pemegang jabatan.
  • Bidang kinerja utama. Penjelasan mengenai tugas pekerjaan dan tanggung jawab utama dalam hal apa yang dilakukan, bagaimana hal tersebut dilakukan dan mengapa hal tersebut dilakukan.
  • Peralatan. Pernyataan yang jelas mengenai peralatan, perlengkapan dan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan secara efektif.
  • Lingkungan. Penjelasan mengenai kondisi kerja dari pekerjaan itu, lokasi pekerjaan dan karakteristik lain yang relevan dari lingkungan kerja langsung seperti tingkat bahaya dan kebisingan.


Pedoman untuk menulis deskripsi pekerjaan :

  1. Tulis tentang pekerjaannya, bukan orangnya.
  2. Jelaskan hanya pada apa yang dibutuhkan oleh pemegang jabatan.
  3. Jelaskan tentang apa dan bagaimana tugas masing-masing setiap pekerjaan.
  4. Mulailah menulis setiap kalimat dengan kalimat aktif masa sekarang. Cobalah untuk tidak menggunakan kata sifat.
  5. Buat secara singkat, tidak memberikan rincian yang tidak relevan, pernyataan subyektif atau pendapat.
  6. Gunakan contoh-contoh konkrit untuk menjelaskan tanggung jawab yang asing atau luas.
  7. Sampaikan tugas dalam urutan yang logis.


6. Spesifikasi pekeraan

Spesifikasi pekerjaan merupakan pengembangan dari deskripsi pekerjaan. Hal ini menunjukkan kompetensi (kualifikasi, sifat-sifat pribadi dan pengalaman) yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan efektif. Spesifikasi pekerjaan ini sangat berguna sebagai penawaran bimbingan untuk perekrutan dan penyeleksian.

Spesifikasi pekerjaan dapat disusun dalam tiga cara :

a. Analis menilai mana kompetensi yang penting untuk kinerja yang baik. Pendekatan ini dapat menghemat waktu, tetapi bersifat subyektif. Meskipun metode ini menunjukkan kompetensi yang sangat penting untuk keberhasilan pekerjaan, tetapi tidak mengindikasikan kepentingan relatif dari kompetensi ini untuk kesuksesan bekerja.

b. Sekelompok spesialis yang mengetahui tujuan pekerjaan, menentukan kompetensi yang dibutuhkan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan perilaku. Pendekatan ini dimulai dengan daftar kompetensi (pengetahuan, bakat, keterampilan dan karakteristik kepribadian) yang ditetapkankan dan dinilai oleh spesialis setelah mereka mempelajari deskripsi pekerjaan. Dengan cara ini kita akan mendapatkan profil untuk setiap pekerjaan. Pendekatan ini lebih obyektif, tetapi membutuhkan lebih banyak waktu.

Contoh Spesifikasi Pekerjaan:

  • Nama pekerjaan : Sekretaris
  • Pengalaman sebelumnya : Pengalaman di kantor selama dua tahun
  • Ketangkasan :Ketepatan gerakan tangan dan jari diharuskan untuk mengoperasikan komputer. Minimal kecepatan mengetik 60 kpm.
  • Ketentuan penglihatan : Diharuskan memiliki konsentrasi visual sebesar 50% untuk membaca email yang masuk, mengetik, dan mengingat.
  • Ketentuan fisik : Mengangkat atau membawa barang dibawah 5 kg. Posisi kerja yaitu duduk.


Aspek pertimbangan : Diharuskan memliki pertimbangan dalam memutuskan tindakan, menentukan waktu yang tepat untuk menyela rapat atasan.
Kondisi kerja : Kondisi lingkungan yang nyaman dan kantor dengan pendingin ruangan.
Resiko bahaya : Tidak ada kemungkinan resiko cedera atau yang membahayakan kesehatan
Syarat lainnya : Harus memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik, lisan dan tulisan, dan mengetahui ketentuan ejaan dan tata bahasa yang baik dan benar.

c. Tes psikometri digunakan untuk menentukan spesifikasi pekerjaan. Pertama, karyawan diuji dengan berbagai tes psikometri. Kedua, kinerja mereka dinilai untuk menentukan siapa yang lebih sukses dan kurang berhasil pada pekerjaan. Selanjutnya, perbedaan antara tes psikometri kelompok berhasil dan kurang berhasil dianalisa untuk menentukan spesifikasi pekerjaan.

Apapun metode yang digunakan untuk menentukan spesifikasi pekerjaan, dua aspek harus dipertimbangkan, yaitu bahwa :

  1. Standar minimum harus ditentukan, dan
  2. Fleksibilitas harus ditampilkan dalam penerapan spesifikasi pekerjaan. Ini berfungsi sebagai pedoman dan juga dapat disesuaikan jika calon yang tersedia terbatas untuk suatu lowongan pekerjaan.


Spesifikasi pekerjaan meliputi aspek-aspek berikut:

  • Pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan,
  • Pengalaman yang diperlukan,
  • Keterampilan khusus yang dibutuhkan,
  • Kemampuan fisik dan mental yang diperlukan,
  • Karakteristik emosional diperlukan.


C. Ringkasan

1. Perencanaan sumber daya manusia didefinisikan sebagai suatu hal untuk memastikan suatu organisasi memiliki jumlah dan waktu yang tepat dalam hal menyediakan para pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh suatu organisasi. Dalam rangka untuk mencapai hal ini, perencanaan sumber daya manusia harus dikaitkan dengan proses perencanaan strategis dan rencana bisnis organisasi. Alasan untuk perencanaan sumber daya manusia dijelaskan. Proses perencanaan sumber daya manusia dapat diambil dari berbagai macam bentuk, salah satunya dijelaskan. Hal ini terdiri dari menganalisa situasi (mengamati lingkungan), menentukan karakteristik dari tenaga kerja saat ini, menganalisa permintaan, menyediakan sumber daya manusia, dan menentukan tujuan sumber daya manusia. Lebih lanjut hal ini akan terdiri dari merancang dan menerapkan rencana sumber daya manusia untuk mencapai semua tujuan, kemudian mengumpulkan dan menganalisa informasi yang dapat digunakan sebagai umpan balik untuk memperbarui proses perencanaan sumber daya manusia.

2. Analisa pekerjaan didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi pekerjaan dengan memecah pekerjaan menjadi elemen-elemen komponennya, dengan tujuan untuk mengidentifikasi apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab pekerjaan tersebut, keterampilan-keterampilan, pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan itu, dan kondisi lingkungan yang bagaimana yang mengelilingi pekerjaan tersebut. Ada enam langkah dalam analisa pekerjaan, dimulai dengan memeriksa keseluruhan organisasi dan kecocokannya dengan pekerjaan, dan diakhiri dengan penyusunan spesifikasi pekerjaan. Penggunaan analisa pekerjaan meliputi perencanaan strategis, perekrutan, penyeleksian, pelatihan, kompensasi dan perancangan kerja. Hal ini jelas dari pembahasan di atas bahwa tingkat pemula tidak harus melakukan analisa pekerjaan. Pelatihan sangat penting sebelum seseorang dapat menganalisa pekerjaan. Sebelum melakukan analisa pekerjaan, struktur organisasi harus dipelajari untuk memperoleh gambaran organisasi. Teknik-teknik yang dapat digunakan untuk menganalisis pekerjaan meliputi observasi, wawancara, kuesioner, buku harian atau kombinasi dari ini.

3. Deskripsi pekerjaan berkonsentrasi pada pekerjaan. Ini menjelaskan apakah pekerjaan itu dan apa tugas-tugasnya, tanggung jawabnya dan kondisi kerjanya secara umum. Spesifikasi pekerjaan berkonsentrasi pada karakteristik yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan itu. Ini menggambarkan kualifikasi yang harus dimiliki pemegang jabatan untuk melakukan pekerjaan. Perekrutan didefinisikan sebagai proses menarik kandidat yang cocok untuk melamar lowongan pekerjaan yang ada dalam suatu organisasi.

Sekian artikel Ilmu Psikologi tentang Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Analisa Pekerjaan.

Daftar Pustaka

  • Rothmann, I. & Cooper, C. (2008). Organizational Psychology and Work Psychology : Topics in Applied Psychology. London : Hodder Education
Viewing all 293 articles
Browse latest View live